Lihat ke Halaman Asli

Leviana FEfriani

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pengaruh Meningkatnya Ekonomi Politik China bagi ASEAN

Diperbarui: 7 Mei 2021   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sudah hampir satu dekade terakhir perekonomian China bangkit dan mulai menguasai pasar dunia, baik di Eropa, Amerika, Asia Timur, hingga kawasan Asia Tenggara. Meningkatnya perekonomian China sangat membawa pengaruh yang berarti bagi beberapa negara, baik itu pengaruh positif maupun negatif. Contohnya perekonomian China membawa dampak negatif bagi negara maju seperti Amerika hingga Jepang, mereka menanggap bahwa sekarang China merupakan rival mereka dalam pasar dunia. 

Berbeda dengan negara di kawasan ASEAN dimana banyak negara yang masih berkembang sehingga China membawa dampak yang positif bagi mereka seperti dalam kasus pandemi Covid-19, banyak negara di kawasan ASEAN yang merasa terbantu oleh China karena memang China memberikan banyak bantuan selama pandemi berlangsung.

Sebuah negara bisa dikatakan mencapai kemakmuran apabila memenuhi syarat yaitu kestabilan ekonomi dan di dukung dengan keadaan politik yang stabil bagi masyarakatnya, dan China sudah memenuhi persyaratan itu. Meningkatnya perekonomian China ini membawa pengaruh poitik yang kuat terutama di kawasan ASEAN sehingga bisa memperluas dan mempererat hubungan diplomatik bagi negara lain terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini membawa pengaruh baik bagi China dalam memainkan peran di bidang kerjasama antar negara agar memudahkan tercapainya kesepakatan. 

Awal mula terealisasinya strategi China dalam perluasan di bidang ekonomi di awali dengan terjadinya kerja sama China dengan World Trade Organization, AMF, serta beberapa organisasi internasional lainnya sehingga menjadikan China sebagai pemegang cadangan mata uang terbesar setelah Amerika Serikat.

Kehadiran China di ASEAN terutama Indonesia makin terlihat dan menonjol dari pada Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya seperti Jepang, Jerman dan Rusia. Beberapa negara yang sentimen terhadap China terdapat di negara yang warganya memiliki nilai kondisi ekonomi nasional yang buruk sehingga menganggap bahwa kehadiran China membawa dampak yang negatif bagi negara. 

Volume perdagangan China mengalami peningkatan yang tajam jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, termasuk investasi yang masuk ke China. China memiliki strategi dagang yang sangat menarik dimana rata-rata perusahaan di China memproduksi barang secara massal dan di jual dengan sangat murah sehingga melakukan penetrasi ke berbagai pasar termasuk pasar Amerika sehingga Amerika mengalami defisit neraca perdagangan.

China sangat pandai dalam melakukan strategi dagang dengan memperluas bidang perekonomiannya melalui jalur perdagangan import mulai dari tembaga, minyak, bij besih yang membuat beberapa negara bergantung kepada China. Karena ini merupakan hal yang buruk dan sangat mempengaruhi perekonomian negara dikarenakan sudah banyak perusahaan-perusahaan China yang masuk ke kawasan ASEAN terutama di Indonesia dan menguasai sebagian perekonomian negara. 

Selain beberapa tahun terakhir utang Indonesia kepada China naik cukup signifikan dan China serta Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama guna mempromosikan penggunaan mata uang Yuan dan Rupiah dalam perdagangan dan transaksi investasi antara kedua negara. Kedua hal tersebut menghadirkan resiko yang perlu di antisipasi oleh Indonesia agar tidak mengalami kasus yang sama seperti kasus Sri Lanka dimana harus kehilangan sebagian besar sahamnya di sebuah proyek pelabuhan karena gagal membayar utang kepada China.

Upaya membatasi ketergantungan terhadap China sangatlah penting untuk menjaga posisi Indonesia dalam mengamankan wilayahnya terutama wilaya di sekitar perairan Laut Natuna yang selalu diklaim sebagai milik China. Apalagi di masa kepemimpinan Presiden Jokowi ini, China menjadi salah satu investor terbesar Indonesia bisa dilihat dari gencarnya pendanaan proyek infrastruktur berskala besar yang di adakan oleh Chin di Indonesia sebagai bagian dari program Belt and Initiatives atau BRI. Perlu digaris bawahi bahwa hutang Indonesia kepada China sudah mencapai besaran yang cukup mengkhawatirkan yaitu US$ 17,75 miliar pada 2019 dan meningkat 11% dibandingkan pada tahun 2017 lalu. 

Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan banyaknya proyek yang masuk dan sudah di tandatangani. Hal ini membuat banyak ahli yang khawatir karena meningkatkan resiko Indonesia gagal bayar seperti kasus Sri Lanka yang sudah disebutkan tadi. Pengalaman Sri Lanka ini memunculkan spkeulasi bahwa China sengaja merencanakan diplomasi perangkap utang melalui pembebanan kredit yang berlebihan dengan dugaan berniat untuk mengeksploitasi ekonomi dari negara pengutang tersebut.

Persyaratan pinjaman dari China untuk proyek BRI juga menjadi pertanyaan bagi para ahli ekonomi. Pasalnya, pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan para pekerja China. Kebijakan yang lebih memihak pada investor China yang tentunya semakin memberatkan pelaku industri lokal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline