"Mungkin KPK tak Akan Terbentuk Kalau tak Ada Sudirman Said"
(Chandra Hamzah, Senin 27 Oktober 2014)
Ucapan Chandra Hamzah yang kemudian banyak dimuat di media online soal peranan Sudirman Said dalam pendirian KPK, sekaligus juga secara implisit pengaruh kuat Sudirman Said di KPK, menjadikan persoalan pilkada Jateng 2018 tak lepas dari bagaimana KPK (yang digerakkan oleh oknum koneksi Sudirman Said) menjadi alat pertaruhan politik Sudirman Said dalam 'memukuli' Ganjar, dan bisa jadi menjadi 'gacoan' paling akhir dalam serangan politik terhadap Ganjar.
Sebuah "langkah putus asa" namun diharapkan kubu Sudirman bisa berpotensi membalikkan hal yang tak mungkin. Dari ucapan Chandra Hamzah inilah bisa dijelaskan secara gamblang, bagaimana "Peristiwa Purbalingga" dijadikan pintu masuk menjebak Ganjar Pranowo di situasi Injury Time Pilkada Jateng 2018. Tentunya tak lepas dari pengaruh koneksi Sudirman Said di KPK.
Sudirman Said tak bisa dipisahkan dari bagian perlawanan "orang-orang pecatan" yang digerakkan oleh Jusuf Kalla untuk membungkam kantong-kantong politik Jokowi di Pulau Jawa, setelah kemenangan Pilkada DKI oleh kelompok JK, maka sasaran kemudian adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam kasus Jawa Tengah, Sudirman Said menjadi operatornya maka Jawa Timur adalah Khofifah menjadi operator perebutan wilayah Jatim ke tangan JK.
Baik Anies Baswedan dan Sudirman Said dibina oleh JK sejak mereka menguasai Universitas Paramadina pada tahun 2007. Sementara Khofifah menjadi pilihan JK sebagai representasi kekuatan JK di wilayah kantong NU Jatim dan jadi bagian hubungan persekutuan antara JK dengan SBY sekaligus merontokkan kantong kantong politik Jokowi di Jatim. Pada tahun 2018 wilayah Jateng dan Jatim adalah pertaruhan terbesar untuk menghadang kekuatan Jokowi.
Awalnya Sudirman Said masuk ke Jateng dengan perhitungan politik yang mudah, saat itu masih eforia tinggi sekali soal keberhasilan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam mengalahkan Ahok dan Djarot di DKI Jakarta. Bagaimanapun juga DKI Jakarta adalah basis PDI Perjuangan, dengan mengalahkan Ahok, langkah selanjutnya bagi lawan-lawan politik Jokowi adalah "menguasai" basis PDI Perjuangan lainnya yaitu : Jawa Tengah. Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh Sudirman Said, menggunakan 'cara-cara Pilkada DKI" dan "Kasus E-KTP".
Dalam banyak pertemuan-pertemuan politik, seperti di Hyatt Yogyakarta pada akhir Nopember 2017 dimana beberapa operator politik Sudirman Said baik dari Jakarta ataupun kelompok Semarang berkumpul, Sudirman Said mendapatkan banyak masukan oleh para pendukung gerakan politiknya, bahwa menaklukkan Jawa Tengah sangat mudah, dengan memanfaatkan kasus E-KTP dan melabur nama besar PDI Perjuangan seperti "Menghancurkan kesan Jateng sebagai "Kandang Banteng" dengan banyak persepsi negatifnya.
Awalnya Sudirman Said merasa senang dengan konsep kampanye seperti itu, tapi ternyata kenyataan di lapangan gerakannya mengalami kegagalan yang memalukan.
Bahkan Prabowo pada bulan April 2018 sampai memanggil Sudirman Said dan bertanya ada apa dengan Jawa Tengah?, beberapa kali laporan survey internal yang dibawa oleh Ferry Juliantono, menunjukkan bahwa hasil survey Sudirman Said dan Ida Fauziah, secara memalukan kalah telak dengan Ganjar-Yasin.
Bahkan survey Kompas yang kerap menjadi rujukan banyak pengamat politik menunjukkan bahwa Ganjar menguasai 76,6%, dan Sudirman Said hanya meraup suara andai Pilkada diadakan pada hari tersebut, Pilkada dipilih pada hari itu sebesar 15%. Atas dasar fakta politik itulah kemudian Prabowo melakukan pidato politik ke khalayak Jawa Tengah, bahwa agar pemilih dirinya memihak pada Sudirman Said.