Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar nasihat untuk tetap "bersikap positif" atau "berpikir positif" dalam menghadapi berbagai masalah. Meskipun nasihat ini terdengar baik, ada saatnya ketika terlalu mengedepankan sikap positif secara berlebihan, justru bisa merugikan kita.
Konsep ini dikenal dengan istilah toxic positivity --- sebuah bentuk optimisme berlebihan yang mengabaikan atau menekan emosi negatif yang sebenarnya sangat manusiawi. Mari kita membahas lebih lanjut tentang hal itu, dampak positif dan negatifnya, serta alternatif kalimat yang lebih sehat untuk menanggapi perasaan sulit.
Ciri-ciri Toxic Positivity
Berikut ciri-ciri toxic positivity, yaitu mengabaikan atau menekan emosi negatif yang muncul, dan selalu memaksa diri atau orang lain untuk "tetap positif" tanpa mempertimbangkan situasi.
Selain itu, toxic positivity selalu memberikan nasihat yang terlalu sederhana seperti "jangan berpikir negatif" atau "semua akan baik-baik saja", tanpa mau mendengarkan atau mempedulikan perasaan yang sebenarnya, menyepelekan pengalaman emosional orang lain, dan tidak memberi ruang bagi individu untuk memproses emosi secara sehat.
Mengapa Toxic Positivity Bisa Muncul?
Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan untuk menghindari hal-hal yang tidak nyaman, termasuk emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, frustrasi, atau duka. Banyak orang menganggap emosi-emosi tersebut perlu untuk segera ditinggalkan.
Inilah yang sering kali memicu munculnya toxic positivity. Orang-orang dengan niat baik mungkin mencoba untuk menghibur atau mendorong seseorang agar segera "move on" dari kesedihan mereka dengan memberikan nasihat yang tampaknya positif, tetapi tidak menyadari kalau hal tersebut bisa jadi malah memperburuk keadaan.
Toxic positivity juga bisa muncul karena budaya yang mengagungkan keberhasilan, kebahagiaan, dan keberanian untuk menghadapi semua masalah dengan senyuman. Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, menunjukkan kelemahan atau perasaan negatif sering dianggap tabu.
Banyak orang merasa perlu untuk "menjaga citra" mereka dan selalu tampak bahagia, bahkan jika di dalam hati mereka sedang terluka. Kebohongan ditampilkan sedemikian rupa, tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Terlebih sekarang media sosial bisa mengakomodasi hal-hal itu.