Lihat ke Halaman Asli

Memapah Harapan yang Tak Pasti

Diperbarui: 17 Juni 2021   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: apps.apple.com

Aku benci malam yang telah merenggut belahan hatiku dari hidup ini selamanya. Dingin, sepi menghampiri hari-hari yang terasa lambat berlalu.
Malam hadir kembali membuat air mata turun tanpa henti
Aku bertanya dan bertanya kenapa hidup ini tiada henti dirundung prahara.

Bias bulan menyelusup membeberkan rahasia bahwa engkau akan pergi jauh dan tak kembali. Sebelum kepergianmu yang abadi.

Aku menggelengkan kepala tidak mungkin. Engkau telah berjanji tetap setia di sampingku sampai memutih rambut ini. Sampai usia senja kita selalu bergandengan tangan.

Kemana janjimu kekasih?
Teganya engkau meninggalkan kami dengan buah hati  semata wayang.
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan yang keluar dari bibir mungil itu?
"Ayah dimana, kok tidak pulang-pulang? Ira kangen Bunda," bibir mungil itu tak henti menanyakan pertanyaan yang sama.
Air mata mulai menetes, sebisa mungkin aku tahan agar tidak tumpah. Ira tidak tahu bahwa sang ayah sudah berada di surga.
Dia hanya tahu ayahnya pergi kerja dan lama pulang.

Aku belum siap mengatakan bahwa ayahnya sudah tiada takkan mungkin kembali lagi.

Kepada malam, aku meminta enyahkan rasa keengganan

Melupakan malam kelam yang telah menjemput tulang rusukku pergi ke keabadian.
Apakah aku kuat berpijak di bumi tanpa engkau di sisiku
Hati ini letih dan tertatih-tatih memapah harapan yang tak pasti

Mentari tetap bersinar
Hujan tetap turun
Gelap malam selalu hadir
Agar aku selalu kuat
Menata kesepian dan kepedihan
Meraih impian kekasih untuk cahaya hati yang semata wayang

Erina Purba
Bekasi, 17062021

Turut berdukacita untuk teman yang sedang berduka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline