Lihat ke Halaman Asli

Tiada Kata yang Terucap hanya Sebatas Kata

Diperbarui: 8 Februari 2021   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar Dokri


Dunia ini terlahir si kaya dan si miskin. Kehidupan penuh dengan misteri. Dunia panggung sandiwara. Tiada yang abadi. Yang abadi hanya kelakuan kita selama masih hidup di dunia.

Hidup adalah pilihan
Hidup adalah anugerah

Tiada yang bisa melawan takdir. Tapi tiada yang mustahil bagi-Nya. Bila Dia berkehendak segala sesuatu yang diinginkan oleh-Nya pasti terlaksana termasuk kita terlepas dari virus covid 19.

Menanamkan kebaikan selama hidup merupakan kewajiban tidak tertulis. Tapi nyata di kehidupan selanjutnya setelah kita meninggalkan dunia yang fana. Seperti semboyan Mba Widz. Kebaikan itu seperti lingkaran. Menurut saya tak putus-putusnya. Terus menerus mengalir dan mengalir. Memberi tanpa mengharapkan imbalan. Peduli dengan sesama manusia.

Melihat sekitar kita banyak yang membutuhkan uluran tangan. Mencari sesuap nasi dengan susah payah. Demi kenyamanan keluarga.

Sumber gambar Dokri


Pagi itu saya mampir ke langganan jualan gorengan di tempat mengontrak rumah sebelum pindah ke perumahan yang sekarang. Banyak yang berubah, saya tidak bisa melupakan warung sederhana Pak Saman. Warung yang terletak di pinggir jalan. Yang selalu saya lewati pulang pergi ke tempat bekerja.

"Wah orang Jonggol datang," dengan keramahannya seperti biasa.
"Iya Be, tak bisa lupa nih," aku biasa menyebutnya Babe.
"Aku mau goreng pisang, sudah matang belum?" Gorengan kesukaanku.
"Tuh, sudah lagi diangkat sama Ibu," ujarnya sambil menunjuk ibu yang sedang menggoreng pisang.

"Masih sama kan harganya?"
"Masih neng, di sini susah bila dijual di atas seribu pelanggan kabur."

Beliau bersama istrinya di hari tuanya menjual gorengan persis di pinggir jalan mau masuk perumahan. Bahkan di depan gudang PT. Gorengan yang dijualnya termasuk murah. Dibandingkan dengan sekarang semua mahal. Walaupun semua mahal gorengan masih seharga Rp 1000,- termasuk murah.
Bila dijual diatas seribu pelanggan kabur katanya.

Sumber gambar Dokri

Pak Saman adalah penduduk asli yang tergusur. Punya kampung sendiri tapi bekerja kepada orang lain sebagai petugas kebersihan. Sewaktu kami mengontrak di perumahan Yadika. Beliau setiap hari membersihkan sampah. Membuangnya ke tempat yang semestinya. Kadang beliau mengojek. Hanya sebatas menolong kebetulan di daerah itu tidak ada gojek. Jadi sangat susah keluar rumah terutama saya yang tidak bisa membawa motor.

Beliau selalu berusaha mengantar saya ke tujuan baik itu ke pasar maupun ke sekolah sekitar 500 m dari perumahan. Beliau berumur kira-kira menjelang 60 tahun. Tetapi mereka kelihatan sehat walafiat. Bersama istri menjual gorengan beserta kopi. Bekerja di hari tua membuat mereka bertambah sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline