Ketika langit terasa runtuh menimpa kami. Serasa menyekap , sesak napas pun terjadi. Raut muka seperti jeruk purut yang mengkerut. Rasa kekhawatiran menghampiri kehidupan kami.
Malam pun berganti siang bumi menangis pilu, masa-masa penderitaan mulai beraksi. Kecemasan, ketakutan telah terukir di wajah-wajah kuyu. Hanya bermodalkan keahlian untuk meraih rezeki. Pekerjaan itu seketika lenyap bersamaan dengan munculnya sang wabah. Merenggut asa tangan-tangan yang terkepal. Pengais rezeki hanya cukup untuk sehari kembali lagi mencari ketika matahari terbit kembali.
Tapi namanya manusia yang tidak sempurna kekhawatiran itu tidak pernah bersih keluar dari hati. Di tambah lagi keadaan sekarang masa pandemi ini, bahkan ada wacana diperpanjang sampai akhir tahun.
Sebagai guru swasta dan masih honor beberapa kecemasan mampir di ruang- ruang pemikiran. Antara lain.
1. Siswa Tidak Ada
Pemikiran saya, masa pandemi sampai akhir tahun. Otomatis siswa baru tidak ada, logikanya saja. Mendaftar, bayar uang sekolah, uang gedung daftar ulang tapi siswa tidak belajar di sekolah bahkan tidak berjumpa dengan gurunya hanya melalui online. Jika melalui online kenapa harus bayar gedung.
2. Di rumahkan
Jika siswa tidak ada otomatis gaji juga tidak ada. Mau tidak mau, siap tidak siap terpaksa dengan berat hati kami menerima yayasan memutuskan hak mengajar
3. Pekerjaan apa yang bisa dijangkau bila dirumahkan
Memikirkan bagaimana kedepannya, apa yang harus dilakukan bila terjadi nanti seperti ini. Usaha apa yang harus dilakukan. Jika jualan , bagaimana caranya menarik pelanggan sedangkan sekarang banyak yang sudah beralih ke sana.
Menggali potensi apa yang kita miliki biar bisa bertahan hidup. Jika saya kelak kemampuan di bidang penulisan saya asah, fokus semoga Kompasiana tetap memberikan apresiasi yang bisa membantu saya dalam penulisan. Hanya itu edisi curhat hari ini. Semoga keadaan ini segera berlalu.
Manusia yang merencanakan Tuhan yang menentukan.
Sampai jumpa lagi sobat kompasianer, terima kasih.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Erina Purba