Sebuah pribahasa mengatakan jika "Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya", masyarakat menganalogikan pribahasa ini ke dalam hubungan keluarga. Dimana anak yang lahir akan memiliki sifat yang cukup identik dengan orang tuanya. Karena mereka sedari lahir telah dididik oleh kedua orang tua mereka.
Tapi ternyata, ada makna lain yang menyangkut pribahasa ini. Generasi bangsa. Benar, ini ada kaitannya dengan generasi bangsa ini. Mereka merupakan keturunan-anak cucu- dari para pendiri dan pejuang bangsa, jadi sudah pasti jika mereka memiliki sifat yang cukup mirip dengan para pejuang. Pejuang yang dilatih dengan mental baja, yang mencintai negeri dan menghormati nilai-nilai luhur budaya Indonesia.
Bahkan sejarah mencatat bahwa rangkaian peristiwa-peristiwa penting yang tertoreh dalam pembentukan identitas nasional merupakan aksi yang dilakukan oleh para pemuda pejuang. Misalnya, Kebangkitan Nasional 1908, Soempah Pemoeda 1928, dan Peristiwa Malari 1974.
Tapi, kemana mereka saat ini? Mereka seakan lupa diri. Lupa akan jati diri. Ironis, mereka justru terpelosok tenggelam dalam opium kebudayaan masif, narkoba, kriminalitas, serta berbagai permasalahan sosial generasi muda lainnya yang menjalar melalui jejaring tanda dan bahasa serta dapat mengancam masa depan generasi muda pada khususnya, dan masa depan bangsa pada umumnya.
Metafora kaum muda sebagai agent of change retak bak labirin yang sulit ditangkap darimana muasal dan muara krisis ini. Anak muda sekarang bangga denga predikat "Kids Jaman Now" yang disandang. Tanpa adanya rasa malu di benak mereka.
Sekarang mereka lebih bangga jika berprilaku kebarat-baratan, mulai dari berpakaian, makanan, bahkan sikap dan pandangan hidup. Stereotipe gaya hidup hura-hura itu ditunjukkan secara gamblang lewat televisi mulai dari gaya sinetron dengaan pendekatan serbahedonis sampai beragam acara kontes kecantikan menggunakan busana mini yang jauh dari budaya ketimuran milik kita.
Anak muda sekarang lebih semangat memacu diri lewat "jalan pintas" yaitu menjadi penyanyi terkenal, artis, banyak penggemar, dan kaya lewat profesi yang serbagemerlap. Hanya segelintir pemuda yang lebih keras berusaha dalam prestasi dengan kegemilangan pengetahuan, penelitian, atau memeras otak dan keringat dari intelegensinya.
Sebagian besar anak muda justru terlelap dalam angan-angan kosong yang ditawarkan sistem kapitalisme, tanpa menyadari bahwa 'perjuangan' mereka di jalur serbahedonis hanya bisa dikategorikan menjadi sebuah perjudian atau harapan fatamorgana.
Pendek kata, kaum muda kita seperti kehilangan daya kreativitasnya dan terjebak pada pola konsumtif tanpa ada usaha mencipta yang dahulu dimiliki oleh generasi muda bangsa Indonesia.
Ada banyak variabel yang menyebabkan perubahan. Tak dapat dipungkiri bahwa perubahan diperlukan untuk menuju arah yang lebih baik.
api sudahkah menjadi lebih baik dengan adanya perubahan sekarang ini? Dulu murid ketika bertemu guru selalu memberi salam, sekarang justru guru yang menyapa murid.