Lihat ke Halaman Asli

Lestari Zulkarnain

Berusaha menjadi lebih baik di setiap moment dalam hidup.

Kesandung Cinta Penjual Dawet

Diperbarui: 14 November 2022   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik panas matahari benar-benar membuat tenggorokanku mengering. Bayangan air mineral berembun di kulkas, membuatku ingin segera berhenti dan mencari swalayan atau warung. Perjalanan Jogja--Purwokerto menggunakan motor memang melelahkan. Aku yang kini berada di jalan beraspal menuju ke kotaku sekembalinya dari kuliah di Jogja, hanya bisa berimajinasi saja. Mau berhenti tanggung karena bentar lagi Zuhur kemudian posisiku berada di jalan raya dengan kanan dan kiri sawah.  

Saat melintas di Purworejo tepatnya di Kecamatan Butuh, tepatnya di dekat jembatan Butuh kulihat warung kecil. Terlihat seorang gadis manis dengan pakaian khas Jawa, tengah duduk menanti pelanggan. Dua gentong besar terbuat dari tanah liat, kemudian terpasang wayang Jawa dengan tokoh salah satu Punakawan, berada di depan gadis itu. Ada pula banner bertuliskan "Dawet Ireng Khas Butuh".

Bayangan nikmatnya dawet Ireng itu membuat air liurku ingin menetes. Kesegaran es, kemudian dawet hitam yang gurih terbuat dari beras ketan dan perpaduan rasa manis gula jawa, ditambah gurihnya santan serta aroma daun pandan, membuatku tak dapat melanjutkan perjalanan. Akhirnya aku pun berhenti dan ingin segera menikmati segarnya es yang terkenal di kota ini. 

Senyum manis tersungging pada gadis berkebaya kuning kunyit bosok atau bahasa kerennya adalah mustard serta rok kain jarit, membuat bertambah ayu parasnya, bila dipandang tidak membosankan. Kuparkir motor gede milikku di samping warung.

"Dek, beli dawet irengnya, ya," ucapku kemudian duduk di kursi yang telah tersedia. Sembari melihat-lihat sekeliling warung, aku pun terpana ketika membaca banner yang terpasang di bawah tulisan "Dawet Ireng Khas Butuh" tertera tulisan yang menurutku agak jorok, "JEMBUT". 

Kemudian aku pun menanyakan hal itu kepada penjual dawet. 

"Dek, itu kenapa namanya kok jorok?" tanyaku penasaran. Gadis itu pun tersenyum.

"Mas, itu singkatan dari Jembatan Butuh, karena warung ini terletak di dekat jembatan Butuh." Astaghfirullah, oh iya. Namun tak pantas jika namanya seperti itu. 

"Sudah terkenal, kok, Mas," lanjutnya. 

"Iyakah?"

"Coba cari di google," pintanya. Karena penasaran dan ingin membuktikan, aku pun mencari di mesin pencarian. Ternyata benar, namanya memang unik bin nyentrik dan saru dikit tapi banyak yang melirik, karena menarik, asyiiik. "Eh iya," ucapku sembari terkekeh. "Ada-ada saja."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline