Lihat ke Halaman Asli

Kepada Sepuluh Tahun Berikutnya

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1.
Ada seorang asing masuk rumah kita.
Diam – diam mengetuk pintu, lalu Ibu membuka
dengan ragu-ragu dan terbunuh.
Jaring laba – laba penuh, dan abu rokok burai di lantai
sejak orang asing itu membatukan nisan
di hati kecil kita.
Menahun kita mempertahankan akal sehat,
kita tak pernah tahu
apakah untuk kesekian kalinya kapal kita akan karam
pada ujung tajam bebatuan karang.
Ibu… aku dan adik masih bisa bertahan.
Lantas, bagaimana denganmu?

Matahari di penghujung bumi telah lenyap.
Malam menyergap.
Dengan sebutir nasi di lambung,
atau secangkir kepahitan menguasai lidah
semalaman, masih membuat kami hidup.
Yang kami takutkan, usiamu senja terlebih dahulu
dan orang asing itu akan duduk bersila
di atas kami berdua. Tertawa, tertawa.
Hingga tubuh kami pecah.
Lalu kami bertanya – tanya :
“kenapa kaubiarkan orang asing itu masuk ke rumah?”

2.
Dari Jakarta ke Sumatera Utara.
Kampung halaman menunggu kita,
setelah rumah dan impian kita punah,
dan teman – temanku resah.
Aku kehilangan diriku
di suatu tempat,
berusaha memulai sebagian dari diriku yang lain
di tempat berbeda. Ladang ubi dan sawit tempat bermain,
sungai Padang yang kecokelatan
sumber bahagia yang sederhana.

Oh, desa Kecapi! Sinar matahari begitu riang
pada siang, memecahkan gugur bunga – bunga
di udara menjadi rintik – rintik sukacita.
Lalu mendung datang, dan aku dipukuli.
“Nasi belum masak! Air belum ditimba! Angkat kayu!”
Dan seranting dua ranting melayang
pada kaki tangan,
Ibu bertanya : “Kenapa kau luka-luka?”
Luka – luka ini masih bisa sembuh, Bu.
Tapi, luka di hati butuh waktu.

3.
Rokok menjadi temanmu
di kamar mandi, Bu. Aku pernah melihat
asap mengapung dari bibirmu,
menguarkan racun, membunuh tiap ide-ide gila
dalam kepala.

Orang asing itu meminta uang hasilmu bekerja,
memukulimu hingga menangis. Aku panik!
“Ada apa, ada apa?” Kau tetap menangis.
Teriak – teriak seperti orang gila.
Aku dan adik terpojok
pada keadaan yang membuat kami gila juga.
Tubuhmu basah oleh minyak tanah,
api dari pemantik rokoknya
siap melahapmu.
Aku menangis! Seketika aku berpikir:
Oh! Aku tidak ingin kau mati di tangan orang ini!
Lalu suaraku lantang : “Ini Ibuku! Pergi! Mati kau bangsat!”
Orang – orang datang memukulinya,
dan ia lari.
Pada malam hari ia masih berani
mengetuk pintu rumah yang sama,
lalu Ibu terbunuh lagi.
Brengsek!

4.
Orang asing membakar rumahku
Tapi, aku takkan pernah berani berkata:
tentang keadilan atau kemalangan.
Kangkung dan genjer yang getir telah menjadi teman perutku;
gigiku telah menguning seperti daun kelapa yang mengering.
Rambutku lebat seperti hutan; hatiku hancur.

Orang asing membuat wajahmu biru, Bu.
Tapi, aku tak pernah berani berkata:
tentang tanduk kerbau yang mengoyak perutmu
memuncratkan kenangan pahit
yang sempat tertelan.
Darah keluarga akan terus tumpah,
air mata akan tetap mengalir merah di pipi.
Hingga bahagia itu muncul
pada permukaan,
membawa mimpi – mimpi yang kandas
di pertengahan
menuju peristirahatan.

5.
Lalu, tidak akan ada ulos lagi
yang terbentang.
Aku dan adik dibawa pergi
menyeberangi selat Sunda.
Kau, menyeberangi selat Malaka.
Perpisahan kesekian kali, untuk pertemuan selamanya.
Kita bertiga memeluk air mata
yang sama.
Asin yang sama dari samudera
yang membasuh luka – luka.
Kelak jarak akan menyembuhkan,
atau malah memperparah luka.

Untuk sepuluh tahun berikutnya,
kami akan pulang.
Ke rumah kita, gubuk yang dibangun
di atas mimpi – mimpi usang.
Memunguti bintang – bintang mati
dan memberikan sayap pada doa – doa
yang sempat terpatahkan.
Semoga, oh semoga! Tuhan Mahapendengar pinta!

Ibu, tunggu aku dan adik dewasa!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline