Dengan adanya pandemi COVID-19 sejak beberapa bulan lalu, kehidupan manusia berubah seratus delapan puluh derajat. Hal ini juga terjadi di Indonesia khususnya pada sistem pendidikan. Pemerintah menetapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal ini bukan tanpa alasan. PJJ ditetapkan dengan tujuan pencegahan penyebaran COVID-19.
Di tengah pemberlakuan sistem PJJ, pemerintah juga memberikan bantuan kepada tenaga pendidik dan siswa/mahasiswa. Salah satunya yaitu kuota internet gratis.
Jumlah kuota internet yang disubsidikan pun beragam jumlahnya. Misalnya di Universitas tempat saya kuliah, jumlah kuota internet selama sebulan ialah 8 GB. Jumlah ini berbeda dengan jumlah kuota yang diberikan ITB kepada mahasiswa sebesar 15 GB seperti yang dilansir dari TEMPO.CO.
Jumlah kuota internet pun terbatas jumlahnya. Mengingat pemakaian yang memakan banyak kuota internet. Mulai dari penggunaan aplikasi belajar online seperti zoom, whatsApp, dan google classroom. Belum terhitung jika menggunakan google, youtube, jika ada materi pembelajaran yang harus dicari atau ditonton.
Ada juga bantuan paket Ilmupedia dari Telkomsel kepada siswa dan mahasiswa. Namun pertanyan kini muncul, sampai kapan subsidi kuota internet gratis tersebut?
Kuota internet yang diberikan juga tidak merata. Sebagian besar yang di pedesaan tidak mendapatkan subsidi kuota internet gratis.
Di sisi lain, tenaga pendidik dan siswa/mahasiswa yang tinggal di pedesaan, jauh dari jangkauan internet, koneksi internet kurang menjadi kendala. Pasalnya, mereka tidak dapat mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran. Sulit juga bagi mereka untuk keluar rumah. Saya ambil contoh di sekitar lingkungan saya saja.
Salah satu dosen saya tidak bisa ke mana-mana, sedangkan salah seorang teman saya tidak dapat mengikuti kuliah karena tidak ada koneksi internet di desanya. Lain halnya dengan teman saya yang lain. tak bisa mengikuti kuliah karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli kuota internet terus menerus. Ini juga menjadi tantangan tersendiri pula.
Mereka harus pergi ke daerah yang memiliki koneksi internet. Hal itu dilakukan demi mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukan bahwa subsidi pulsa saja bukanlah satu-satunya solusi. Hal ini tentu tidak begitu bermasalah jika pembelajaran secara normal.
Ditambah lagi keterbatasan gawai. Saya melihat di sekitar saya, ada beberapa orang tua yang harus membeli gawai agar anak mereka bisa mengikuti pembelajaran. Bahkan ada pula yang nekat meminjam gawai tetangga untuk anaknya. Ya, karena gawai yang mereka miliki hanya dapat digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan saja.
Selain itu, kemampuan mengoperasikan fitur-fitur yang ada di dalamnya juga menjadi suatu kendala. Misalnya, orang tua yang anaknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) harus membantu anak menggunakannya. Jangankan membantu anaknya, ia sendiri pun tidak bisa. Hal inilah yang kita kenal dengan nama gagap teknologi (gaptek).