Lihat ke Halaman Asli

Bara

Mahasiswa

Superior Amrih

Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehidupan manusia sudah berjalan beratus-ratus abad lamanya. Manusia telah berkembang sebagaimana mestinya. Lahirnya seorang manusia yang berawal dari buah kesenangan manusia lain memicu hasrat untuk mengulangi siklus kesenangan tersebut. 

Lahirnya seorang anak yang normal dan sebagaimana manusia umumnya merupakan anugerah Tuhan. 

Entah suatu kebetulan, keniscayaan, maupun ketidaksengajaan terlahir manusia dengan wujud yang "beragam". Mulai keberagaman penglihatan, pendengaran, pikiran, tingkah laku, atau keberagaman genetik menjadikan kita sebagai manusia berpikir bahwa kebutuhan manusia perlu kebutuhan khusus.

Entah suatu disengaja oleh Tuhan atau disengaja oleh nasib, Amrih terlempar dari dunia pendidikan yang semestinya Amrih ikuti. Bertahun-tahun Amrih telah berlatih menjadi seorang seniman tiada tanding. Sejak taman kanak-kanak hingga sekarang sekolah dasar,  Amrih begitu giat masuk ke sanggar lukis dan bersemangat ketika berpameran. Hari-harinya dipenuhi oleh warna, baik warna dari dunia nyata atau dunia asyiknya sendiri.

Amrih sedari kecil sudah menjadi juara melukis berbagai tingkatan. Ayahnya yang seorang pengembara kerap kali memberikan bacaan-bacaan pelukis mulai dari Vincent van Gogh, Monet, Affandi, hingga Raden Saleh. Ayah Amrih yang mendidik sedemikian rupa menjadikan Amrih terobsesi untuk menjadi seniman murni sampai pada puncaknya Amrih menolak bersekolah.

Pernah pula suatu saat Amrih kerap kali mengurung dirinya di kamar hingga waktu cukup larut. Pernah sekali kamar Amrih dibuka oleh ibunya, ibunya begitu terkejut ketika melihat Amrih tertawa dan mengobrol sendiri dengan pensil warna. 

"Kau kenapa tertawa sendiri Amrih?" ujar ibu

"Lihat bu, aku sedang bersama Vincent van Gogh, dia bercerita kalau telinga tumbuh terus-menerus ketika dipotong"

"Mengapa kamu begitu Amrih? Cepat kesekolah!" bentak ibu dengan lantang.

"Tidak mau!. Lingkungan sekolah terlalu kaku dengan segala aturan-aturannya. Memakai seragam, harus mengikuti perkataan guru, harus mencatat materi dari guru, hingga hukuman ketika melanggar peraturan sekolah itu merupakan bentuk kekakuan sistem pendidikan kita. Amrih sudah bosan dengan segala itu bu, terlalu monoton dan seakan hanya diulang-ulang saja. Teman-teman Amrih juga tidak menghargai Amrih di sekolah, mereka seperti memberi Amrih label anak aneh. Guru seolah menjadi super power dan murid-muridnya hanyalah sapi yang dipelihara yang kelak diperas susunya. Ibu tidak pernah sekolah sih, makanya tidak tahu" ujar Amrih dengan lantang seperti pemimpin demo.

Suatu hal yang cukup mencengangkan ketika anak menempuh pendidikan dasar kelas akhir, berkhayal bertemu Vincent van Gogh dan mengobrol dengan pensil warna. Kekritisan terhadap sistem pendidikan menjadikan ibu terkejut dan takut. Segala yang dilontarkan oleh Amrih seperti jarum yang menusuk hati ibu. Bagaimana mungkin buah hati yang dijaga sejak kecil menjadi berani dan bertingkah seperti itu hingga berani berbicara lantang kepada ibunya sendiri. Secara tidak sadar air mata ibu turun dan ibu meninggalkan Amrih sendirian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline