Lihat ke Halaman Asli

Bara

Mahasiswa

Sekolah dengan Hitam Putihnya

Diperbarui: 10 Juli 2024   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selama mengarungi dunia yang fana ini, Tuhan telah membekali umat manusia dengan akal dan pikiran dasar. Dimana dalam prosesnya mengharuskan kita untuk mengembangkan akal dan pikiran tersebut. Secara umum, jalur yang ditempuh oleh hampir seluruh umat manusia melalui dunia pendidikan. Saya termasuk orang yang beruntung mampu dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan pendidikan hingga tingkat strata. Berbekal keyakinan serta mengharap keberuntungan Tuhan, saya masuk kedalam lingkaran pendidikan sebagai pemeran penyalur ilmu yaitu guru. 

Bersekolah selama 16 tahun mulai dari SD hingga kuliah, menjadikan saya tumbuh menjadi pribadi yang mencintai seni. Kedua hal antara seni dan pendidikan sudah mendarah daging dalam lingkup keluarga. Hingga proses mencari rezeki Tuhan saja, saya menggantungkan hidup  lewat  menjadi guru seni budaya pada sekolah swasta di kota tercinta. Semua diawali dengan harapan dan ekspektasi yang membumbung tinggi ketika mendapat lowongan menjadi guru seni. Secara penuh keyakinan saya mengiyakan lowongan tersebut. 

Pada hari pertama di sekolah, sebagai guru muda yang belum punya pengalaman saya sudah mendapati kejadian yang memalukan. Kesalahan pemakaian seragam. Oh.. kejadian tolol apa yang saya alami sekarang hingga hal sepele berupa seragam saja keliru. 

Hari pertama masuk akhirnya saya dihadapkan dengan murid-murid. Penuh keheranan menyelimuti hati ketika melihat jumlah murid yang tersedia. Bagaimana mungkin sekolah di kota besar dan terletak tak jauh dari pusat kota hanya berisikan 20 murid saja? Itupun sudah jumlah gabungan antara semua kelas yang ada mulai dari kelas 7 hingga 9. Keheranan semakin mencapai kepala ketika saya melihat seorang murid dengan tinggi badan tidak sesuai dengan normalnya. Namanya Manda, murid kelas 9 dengan segala keterbatasannya. Dalam sela waktu menuju upacara, saya menyempatkan diri membuka obrolan sebagai pengingat bahwa saya ada disitu sebagai guru baru.

"Permisi, siapa namamu?" Ujar saya sebagai pembuka obrolan.

Lagi-lagi saya dihampiri penuh keheranan, dia malah menangis ketika saya tanyai. Kejadian apa lagi yang saya dapati pada pagi itu, belum masuk kelas saja sudah membuat kehebohan. 

"Saya Manda pak, siswa kelas 9" Ujar Manda

"Mengapa dirimu menangis? Saya menakutkankah?" Ucap saya menegaskan kembali alasan dia menangis.

"Tidak pak, saya menangis haru. Selama pagi ini, belum ada satupun yang berbicara kepada saya. Saya tinggal seorang diri di rumah dan di dalam kelas pun saya sendiri." 

Ucapan Manda menjadikan saya sedikit tertegun. Dalam dunia yang semakin global, mengapa masih saja kasus perundungan dalam dunia pendidikan masih ditemui. Apakah kasus seperti ini sudah menjadi kejadian biasa dan apakah guru disini sebelum saya menyadari hal tersebut? Bagaimana mungkin pula anak belum beranjak dewasa telah hidup sendiri di tengah masyarakat yang keras? Bagaimana hidupnya dan makannya? Bagaimana cita-citanya? 

Entahlah semakin saya bertanya maka semakin banyak pula kebingungan menghinggapi pikiran. Saat ini saja saya belum debut mengajar di kelas tetapi sudah mendapatkan gambaran kecil kondisi sekolah ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline