Lihat ke Halaman Asli

azhar

Ingin Jadi Penulis

Munajat Hamba

Diperbarui: 18 Agustus 2020   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Membosankan memang setiap hari mendengar pemberitaan yang tidak ada habisnya tentang Covid-19. Dua bulan belakangan, sejak pemerintah memproklamirkan persahabatan dengan Covid-19, situasi perlahan berubah menjadi tidak begitu riuh, dan kepanikan sedikit mereda di tengah masyarakat.

Seminggu belakangan, ada seorang kawan sekantor yang hendak pulang kampung mengisi liburan panjang di miggu ketiga bulan Agustus 2020. Seperti penumpang pesawat pada umumnya, beberapa hari sebelum keberangkatan rapid test dulu sebagai syarat penerbangan era new normal. Namun kemudian membuat shock karena hasilnya reaktif, dan diminta melanjutkan ke swab test/ PCR. Pemberitaan mengenai hasil rapid test tersebut kemudian menjadi pembicaraan ramai di kantor esok harinya.

Sejak pemberitaan itu mulailah kedisiplinan hidup new normal kembali diterapkan, kesadaran itu kembali muncul karena ancamannya amat nyata, dialami oleh rekan sekantor dan setongkrongan. Dua hari sejak rapid test, kami menerima kabar bahwa hasil swab test rekan kami dinyatakan positif. Sontak menjadi pembahasan yang ramai hari itu, semua perkumpulan membahas tentangnya, dan mengurut-urut peristiwa ke belakang tentang riwayat kontak dengan pasien.

Dari peristiwa itu saya belajar, amat sangat lengah kewaspadaan kami selama tidak ada kasus atau pemberitaan Virus yang menimpa rekan atau orang terdekat. Padahal ribuan kasus yang diberitakan setiap hari, namun belum cukup besar membuat diri khawatir dan peduli. 

Namun yang terjadi ketika yang terpapar adalah rekan yang berhubungan langsung, teman diskusi dan bercanda, barulah ketakutan dan panik setengah mati, akibat sebelumnya protokol kesehatan tidak disiplin dilaksanakan karena dianggap aman jika kontak dengan rekan-rekan sekantor yang masih nihil kasus pada saat itu. 

Analoginya persis seperti surga dan neraka, banyak yang tahu janji Tuhan ke hambanya berupa nikmat surga dan siksa neraka, namun berapa banyak orang yang taat dan melaksanakan perintah untuk mengejar surga dan takut akan siksa neraka. Jawabannya karena hal itu tidak nampak, dan manusia cenderung pada pikiran rasional.

Sebagai manusia tentu usaha maksimal wajib dilakukan, protokol kesehatan, social distance, dll sebagainya yang mungkin bahkan sampai bosan telah kita jumpai setiap hari. Namun janganlah lupa bahwa kodratnya manusia makhluk yang lemah, tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah SWT. Kebutuhan terbesar seorang hamba tentu adalah pertolongan dari Tuhannya, namun jika terlalu banyak dosa dan maksiat dalam catatan kehidupan ini, apakah pantas kami menerima pertolongan-Mu?

Jayapura, 18 Agustus 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline