Lihat ke Halaman Asli

Syadad Kaisinnabil

Mahasiswa Ekonomi Islam

PPN 12 Persen dan Tantangan Mewujudkan Keadilan Ekonomi

Diperbarui: 19 Desember 2024   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pemerintah, seperti sebuah orkestra yang tak sepenuhnya teratur, memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Alasan yang dikedepankan jelas: menambal penerimaan negara dan mengecilkan defisit anggaran. Semua ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sebuah bingkai besar reformasi fiskal yang digadang-gadang untuk menjaga kestabilan ekonomi negeri dalam jangka panjang.

Namun, keputusan itu, seperti simfoni yang kehilangan nada dasar, disambut dengan kritik tajam. Ekonomi sedang lesu. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, sudah seperti lilin yang meredup. Pemerintah membela diri dengan menyebut kebijakan ini berlandaskan asas keadilan: barang kebutuhan pokok seperti tepung terigu, minyak goreng curah, atau Minyakita, dan gula industri hanya dikenai sebagian tarif PPN, dengan satu persen di antaranya ditanggung oleh pemerintah (DTP).

Tetapi ada yang terasa ganjil. Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU yang sama, pemerintah sebenarnya memiliki ruang gerak---kemampuan untuk menetapkan tarif dalam rentang 5 hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah. Ini bukan langkah yang wajib, melainkan pilihan. Ironi lain menggantung di udara: pajak karbon, yang seharusnya diberlakukan sejak 2022, masih sekadar janji yang membeku dalam ruang kebijakan.

Semua ini terjadi di tengah angka-angka yang terus mencemaskan. Pada triwulan III 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan, bahkan terkontraksi 0,48 persen secara triwulanan. Deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, ditambah laporan Bank BRI[1] bahwa omzet UMKM menurun hingga 60 persen, adalah bukti bahwa masyarakat tengah bergulat dengan hari-hari yang kian berat. Di tengah situasi ini, kenaikan PPN adalah palu yang menghantam tembok yang sudah retak.

Kebijakan ini, pada akhirnya, memaksa kita untuk bertanya: di mana letak keadilan ketika angka-angka besar bertemu dengan napas kecil orang-orang biasa?

Pemerintah, dalam upayanya menutup defisit anggaran, memilih jalan yang terlihat mudah namun penuh duri: menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kebijakan ini mungkin tampak logis di atas kertas, tetapi tak bisa disangkal, ada opsi-opsi lain yang terabaikan. Potensi penerimaan pajak dari sektor tambang ilegal, misalnya, belum sepenuhnya disentuh. Dalam sektor sawit saja, Hasyim, Dewan Pembina Gerindra pernah menyebut angka Rp300 triliun yang menguap dari pengemplangan pajak. Tetapi, alih-alih mendahulukan upaya ini, langkah menaikkan tarif PPN tetap menjadi pilihan utama.[2]

 Lalu ada soal perbandingan. Merunut data Emedia DPR RI, tarif PPN Indonesia yang kini di angka 11 persen sudah lebih tinggi daripada Malaysia dan Singapura, yang masing-masing menetapkan 8 dan 9 persen. Dengan kenaikan menjadi 12 persen, Indonesia akan bersanding dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara---posisi yang membawa beban, bukan kebanggaan.[3]

Kebijakan, pada akhirnya, bukan hanya perkara angka, tetapi juga cerita tentang dampak. Seperti riak air, kenaikan tarif ini akan menjalar, mengguncang konsumsi rumah tangga, menekan daya beli, dan menggoyahkan sendi-sendi ekonomi. Ketika tarif PPN naik dari 10 menjadi 11 persen pada 2022, inflasi melonjak dari 1,56 persen menjadi 4,21 persen. Sekarang, dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen pada 2025, inflasi diproyeksikan menyentuh 4,11 persen. Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor ekonomi, diperkirakan akan melambat, bahkan mungkin terhenti.[4]

Dan tak hanya inflasi yang menanti di ujung kebijakan ini. Ada juga pre-emptive inflation---fenomena di mana pelaku usaha menaikkan harga barang dan jasa lebih awal, sebagai langkah antisipasi. Menjelang akhir 2024 hingga awal 2025, ekspektasi harga akan memuncak, sebagian karena tradisi libur akhir tahun, sebagian lagi karena bayang-bayang tarif baru. Pada akhirnya, efek domino ini akan merambat pada indeks harga konsumen, yang diperkirakan naik 0,14 persen, hingga konsumsi rumah tangga yang berpotensi turun 0,37 persen.

Di sisi lain, menurut temuan Celios Think Tank dampak pada PDB tak kalah mencemaskan. Kenaikan tarif PPN ke 12 persen bisa memangkas PDB hingga Rp65,33 triliun, meninggalkan jejak luka pada ekonomi yang seharusnya tumbuh. Bahkan konsumsi rumah tangga, komponen paling vital dalam roda ekonomi kita, menunjukkan angka yang menyusut drastis---dari kontribusi positif pada tarif rendah menjadi minus Rp40,68 triliun pada tarif tertinggi.[5]

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline