Tidak kelihatan bukan berarti kau tak merdeka dan tidak bersuara bukan berarti kau setia untuk dibungkam. Kita punya cara yang harus lebih berbeda di atas rombongan Kemanusiaan.
Adalah Kau
____________
Anggraeni, adalah kau yang menyandang cerita. Pada redup segala yang hidup. Dekapmu terasa, dekatmu menyapa. Kita tak kompromi untuk setia menulis puisi-puisi Perlawanan.
Adalah kau wanita menenun ledakan pengkhianatan. Kita tak hanya terluka di masa anggota DPR sibuk bersidang, sedang rakyat di lempar-lempar berita hoax.
Adalah kau gadis berwajah teduh. Gadis peradaban yang hancur berkeping-keping jika investor berkiblat. Musikalisasi manipulasi tentang monopoli tanah. Kita telah menjadi nanah tanpa tubuh.
"Terkadang aku menginginkan kau menjadi seperti Calon Arang bersama kitab lontarnya, dengan satu tiupan dari mulut, hancur yang dituntut"
Tapi Anggraeni?
Argh sudahlah lupakan
Aku mengenalmu adalah kau pengakuan arti. Dalam hati, dendam tak di hadiri. Garis dagumu adalah isyarat untuk kita yang wajib menabrak rezim hari ini. Rezim perjanjian imperialisme menyembah rancangan undang-undang zat. Rezim penggerebekan untuk kedaulatan yang robek.
Adalah kau sanggar bibir bianglala. Ribuan lalat penghisap kehidupan pribumi terbang bebas. Maka Ijinkan ku mencintaimu tanpa pemimpin negeri.
Adalah kau bentuk air mata ibu Pertiwi, Anggraeni. Aku tak ingin mencintaimu dari prajurit boneka yang mengangkat senjata, berujung penjara.
Anggraeni, Sekali lagi. Adalah kau kelarai yang di temui para leluhur. Subur perjuangan, tegar Perlawanan. Kita bukan budak cinta yang menghamba pada cincin Kapitalisme.
Aku mencintaimu sebab kau dan aku adalah jeda yang beda. Berduri sebelum tutup usia.
Kediri, 13 Oktober 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah