Lihat ke Halaman Asli

Abdul Azis

Wiraswasta

Air Mata Malam Minggu

Diperbarui: 26 September 2020   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nojoto.com

1//
Malam minggu, waktu perpaduan penikmat bintang berkedip. Sejoli kekasih yang bertukar suara saling sayang. tapi bagiku malam minggu yang ada, tak secuilpun menetramkan raga yang merebah dini memeluk bantal guling ranjang kamar.

Perihal bibir yang dulu tersenyum memanggil nama dia untuk selalu bercengekrama di malam minggu telah terkelupas menampung air mata kesakitan langit ketujuh. Sebab
Ini bukan karena LDR, tapi duka sedalam palung Mariana yang belum mau menerima kediaman dia yang telah berpindah, menetap di pondok gerbang nisan taburan bunga kamboja.

2//
Juita, apa kabarmu di nirwana? Bisakah kau melihat diri ini yang sudah tak lagi memiliki asa untuk bermimpi esok hari? Perihal segala mimpi yang dahulu ada kini telah terkubur bersama dengan perginya dirimu untuk selamanya ke alam baka.

Juita, aku yang sekarang hanyalah mayat hidup. Yang selalu berdoa untuk cepat mati. Perihal memori galeri foto yang menyimpan kebersamaan kita, menjadi titik rindu nestapa. Yang tak mampu terobati di paradigma kehidupan.

Juita, bisakah kau meminta pada Tuhan untuk menemui aku sekali lagi? Walaupun hanya lewat mimpi? Perihal hanya denganmu lah diriku dapat menjemput ketenangan yang meneduhkan jiwa.

3//
Tahukah kau Juita? Andaikan purnama merupakan seorang jin yang sanggup memenuhi segala permintaan. Aku akan memilih menukarkan nyawa ini dengan nyawamu sendiri.

 Perihal rasa kehilangan ini selalu diringi rasa bersalah. Yang tak mampu menatap kedua mata orang tuamu. Lantaran dengan aku lah kepergianmu menghadap Tuhan uamg tak terelakan lagi.

Sebab, dari kecelakaan motor yang kita gunakan sepulang dari taman kota membuatmu berpulang secara mengenaskan di ruangan ICU. Yang hanya bisa ku tatap tanpa bisa menolongmu dalam keadaanku berkaki patah. Yang juga masih berlaku sampai kini.

4//
Juita, apakah kau bisa mendengarkan segala rintihan ini? Dari seorang laki-laki yang selalu mengutuk diri akan takdir seribu purnama yang terlalu cepat memutuskan hubungan kita, yang terbina atas ikrar sehidup semati.

Juita, disisa-sisa hidupku. Tak ada lagi warna pelangi yang muncul setelah hujan. Perihal, kau adalah keindahan dari cakrawala yang tak bisa tergantikan oleh sejuta pemandangan.

Yang mampu merubah aku seperti dirimu, membuatku tak lagi bersedih menjalani kehidupan sebagai yatim piatu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline