Lihat ke Halaman Asli

Abdul Azis

Wiraswasta

Dari Lereng Anarki

Diperbarui: 11 September 2020   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Docpri: Abdul Azis le putra marsyah


1//
Dari terik matahari anarki, jemari ini menuaikan sepotong syair tanda darurat Indonesia. Seribu pulau nafas kesatuan menjadi air mata ironi dalam permainan para bangsat yang mengaku malaikat. Indonesia Negeri kaya alam terinjak-injak investor liar, Yang merimbunkan
Lapangan kerusakan

2//
Di tepi hunian sederhana, binar wajah sang bocah bertanya-tanya dengan lugu kepada ayah gang duduk menghisap sebatang polusi cerobong pabrik

"Ayah, aku dengar negeri kita ini adalah paru-paru dunia, tapi mengapa yaang kutemukan adalah selimut asap yang menutupi rimba kedamaian"

"Ayah, aku dengar negeri kita ini adalah lumbung agraria, tapi mengapa yang kutemukan adalah pabrik-pabrik yang menutupi area pematang"

"Ayah, aku dengar aliran sungai kita adalah surga kawanan lele yang memanjakan mata, tapi mengapa yang kutemukan adalah warna-warni sungai dari pembuangan terowongan pabrik"

3//
Dengan raut kegelisahan, gemetar sang ayah mengumpulkan sejengkal keberanian tuk menjawab segala tutur cerewet pertanyaan si bocah yang terlalu polos

"Nak, dengarkanlah ayah, sejujurnya ayah tak mau membagi cerita ini yang kemudian akan menjadi beban dalam nafasmu yang makin beranjak, tapi baiklah ayah akan menceritakan ini semuanya. Agar kelak ketika kau dewasa, kau tidak hidup dalam bayangan penipuan"

"Nak, saban hari yang telah berlalu silam, selalu menjadi bukti sejarah yang tak dapat dipungkiri bahwa negeri kita adalah surga yang jatuh ke bumi"

"Nak, Negeri yang kau lihat sekarang berbeda dengan negeri di masa muda ayah. Di mana negeri kita dahulu adalah macan Asia yang tak mudah dikorek-korek oleh tangan-tangan luar"

"Nak, Negeri sekarang ini berisi pejabat yang doyan belunder dan mencuri kita dengan terbitan pasal-pasal pemerkosaan. Nak, Hutan yang sekarang kau lihat dengan sejuta asap, itu belum apa-apanya dibandingkan dengan seribu kebakaran hutan yang menggusur kaum ulayat. Nak, Pematang yang kau lihat berhimpitan dengan pabrik-pabrik itu belum apa-apanya, dibandingkan dengan tatapan yang melihat gaya preman kapitalis yang memaksa petani menyerahkan sebidang tanah kehidupan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline