Di banyak negara, termasuk Indonesia, korupsi sudah tidak terkendali dan menjadi masalah serius. Selain merusak keuangan negara, korupsi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, lembaga publik, bahkan kepercayaan di antara rekan kerja dan anggota keluarga.
Baik di sektor publik maupun komersial, korupsi memiliki pengaruh merugikan yang cukup besar di Indonesia. Uang publik yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat seringkali disalahgunakan untuk kepentingan individu. Ketimpangan sosial, kerugian finansial, dan penurunan standar pelayanan publik adalah akibatnya. IHK Indonesia tahun 2022 memiliki skor 34/100 dan menempati urutan ke-110 dari 180 negara, menurut informasi di situs Transparency International Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sangat terbantu dengan adanya pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi mengembangkan karakter dan sikap melawan korupsi dengan menanamkan cita-cita integritas, transparansi, dan akuntabilitas sejak dini.
Diyakini bahwa pendidikan antikorupsi akan membantu kita membangun generasi yang sadar moral dan mampu mengidentifikasi, melaporkan, dan menolak perilaku koruptif. Ada beberapa pendapat dan pandangan dari para ahli tentang bagaimana masyarakat dapat memberantas kejahatan melalui pendidikan antikorupsi. Memahami pengawasan dan kejahatan dalam masyarakat menjadi semakin penting pada saat kemajuan teknis dan kompleksitas sosial.
Esensi korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Hal ini dipahami karena manusia pada dasarnya adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin yang dengan kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi.
Korupsi muncul sejak manusia mulai hidup berkelompok dan bermasyarakat, membangun relasi sosial untuk mempertahankan hidup, menciptakan norma-norma sosial demi suatu cita-cita seperti kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman hidup. Akan tetapi, masalah kemanusiaan mulai muncul ketika kejahatan oleh segelintir orang telah menciptakan ketidakadilan, kesengsaraan, dan penderitaan bagi sebagian yang lain. Nilai kebaikan dan kejahatan mulai dipertanyakan essensi dan keberadaannya di dalam diri manusia
"Panopticon" oleh Jeremy Bentham dan "kejahatan struktural" oleh Anthony Giddens adalah dua gagasan yang akan dibahas dalam artikel ini karena berkaitan dengan situasi ini. Teori Giddens tentang kejahatan struktural, yang menjelaskan elemen struktural asal-usul kejahatan, dan Panopticon, yang didasarkan pada sistem pengawasan Bentham, keduanya menawarkan perspektif mendalam tentang pemahaman sosial dan perilaku manusia.
Kami akan mendefinisikan Panopticon, membahas kejahatan struktural, dan mendiskusikan bagaimana konsep-konsep ini dapat digunakan dalam konteks masyarakat kontemporer. Diharapkan dengan memahami ide-ide mendasar di balik ide-ide ini dan konsekuensinya, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil..
Jeremy Bentham kuliah di Universitas Oxford untuk belajar hukum. Bentham percaya bahwa sistem hukum Inggris pada saat itu tidak adil, keras, dan sulit diterapkan. Akibatnya, Bentham menjadi tertarik pada topik yang berkaitan dengan moralitas publik. Bentham banyak menulis tentang topik moral, politik, dan hukum.
Penemuan dan eksperimen Kekaisaran Rusia menjadi sumber inspirasi bagi konsep Bentham. Bentham penasaran untuk meneliti bagaimana industrialisasi mempengaruhi rakyat biasa di Rusia pada tahun 1786, ketika negara itu sedang dalam proses industrialisasinya. Dalam hal pekerjaan dan pergaulan, kehidupan masyarakat semakin terbagi. Bagaimana individu dapat menghasilkan barang dengan lebih efisien menjadi topik yang semakin diperhatikan.