IBU pemilik rumah berkolong itu merasakan betul derita yang dialami gadis cantik yang duduk lemas bersandar di kursi rotan tua itu. Kronologi peristiwa yang dikisahkan Nika sejak awal di pantai hingga insiden penembakan terhadap Riko, membuatnya terkesiap dan berulangkali menggeleng kepala.
"Astaga, sungguh berat cobaan yang kamu hadapi. Cintamu tak terukur dengan gunung dan dalamnya laut,"
Nika memandang wajah perempuan paruh baya itu dengan perasaan sejuk. Ibu itu menyediakannya makanan nasi berlauk sederhana sayuran rebus dan telur dadar, dan Nika menikmatinya dalam rasa lapar yang lama ditahankan sejak dari Samosir. Kemudian ibu menyuruhnya menanggalkan celana dan kaosnya yang kuyup. "Ini sementara pakai dulu punyaku," katanya seraya memberikan sweter dan gaun tidur.
"Aku sudah merepotkan ibu, terima kasih sekali bu," kata Nika terbata-bata.
"Panggil aku namboru kalau mau, artinya aku adalah saudara perempuan ayahmu," kata perempuan berhati ikhlas itu, tak bosannya memandang kecantikan gadis di hadapannya.
"Aku juga punya anak perempuan. Aku merasakan sekali penderitaan yang dialami gadis sepertimu."
"Ibu tinggal sendirian di sini?"
"Ya bgitulah ahirnya. Suamiku meninggal tiga tahun yang lalu. Anakku satu perempuan satu laki, dua-duanya sudah berumahtangga. Terkadang mereka datang sesekali bersama cucu menghiburku. Hidup ini memang sepi pada akhirnya, tapi aku menjalaninya dengan bersyukur dan merasa berdosa mngeluhkan apapun yang kualami. Aku percaya Tuhan selalu hadir jika kita memintanya dengan tulus."
Nika terharu mendengarnya. " Saat ini aku juga merasakan kehadiran Tuhan dengan pertolongan ibu, namboru, saat ini."
Sayup-sayup terdengar suara seperti orang bicara dari arah persimpangan dusun. Nika terkesiap,menajamkan pendengaran. Ibu itu melintangkan telunjuk di bibir isyarat agar Nika jangan bersuara. Dibukanya daun jendela sedikit mengintip keluar.
"Ada dua orang menuju kemari, tapi seorang lagi berdiri di pinggir jalan," bisiknya sambil menutup jendela.