Lihat ke Halaman Asli

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (115)

Diperbarui: 12 Desember 2015   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

GERIMIS halus bagai salju dikirim dari langit melalui awan tebal yang berkejaran ke satu arah. Tak lama lagi kegelapan akan mampir. Nika tak memperhatikan guyuran gerimis yang mengapung di sana-sini. Ia berharap kegelapan secepatnya membalut bumi.

Beberapa kali ia gagal mengeluarkan badannya lewat dinding atas toilet yang terbuka,lebarnya dua ukuran papan. Pada hal tubuhnya tak gemuk,masih leluasa keluar dari bagian yang terbuka itu. Tapi ia merasa tak sekuat biasanya. Terlalu lama duduk di mobil dengan pikiran tegang membuat sekujur badannya terasa tegang. 

"Oh my god,please help me," gumamnya seraya mencoba lagi menjulurkan dirinya untuk keluar.

Dicobanya lagi. Dicobanya untuk yang ke lima kali. Dinding bagian bawah terlalu datar, tak ada tempat pijakan. Akhirnya dibukanya sepatu Nike yang dipakainya, barulah ia lebih mudah merayap naik. Ia hampir kehilangan tenaga. Tapi semangat dan tekat memberinya dorongan.

Ketika separuh badannya sudah terjulur di dinding menganga itu, ia merasakan gamang melihat ke bawah. Batas antara sungai dengan toilet hanya sekitar satu meter. Masih ada tempat ketimbang lngsung ke sungai. Dengan hati-hati Nika memberanikan diri meluncurkan diri ke bawah,dengan mendahulukan kedua tangan. Mujur ia bisa terguling menimpa tanah berumput cukup tebal. Ia merasakan telapak tangannya kesemutan. Kemudian ia memakai sepatunya kembali. Berpaling ke kiri kanan, mau arah ke mana gerangan pergi. Di sekitar tanggul sempit itu penuh rerumputan dan tanaman ubi dan jagung. Cukup aman untuk sembunyi andai lelaki yang mengawasinya akhirnya sadar dirinya dikibuli.

Suasana makin remang. Nika berharap biarlah kegelapan berbaur dengan gerimis. Seandainya dirinya dikejar, pasti lebih sulit. Nika merasakan wajah dan celana jinsnya mulai kuyup. Perlahan ia merangkak, ke arah rimbun tanaman jagung dan ubi kayu di sekitar tanggul sungai. Tak terasakan lagi olehnya gerombolan nyamuk mengepung, atau mungkin juga pacat pengisap darah sudah menempel di badan.

Nafasnya terengah ketika menyurukkan dirinya ke rimbunan jagung dan daun ubi yang rapat. Ia mengatur nafas. Merasa lega karena kegelapan makin pekat. Tapi ia mengeluhkan gerimis yang makin deras. Tubuhnya menggigil menahan sergapan dingin. Ia merasa mau ambruk tapi ia bertahan memegangi batang jagung yang sebenarnya tak cukup kuat menahan. Dan ia tak ambruk, ia duduk menahan nafas mengintai dari celah tumbuhan sekitarnya.

Gelap malam sangat melegakan, sekaligus mencemaskan. Mau ke mana lagi di tengah suasana asing baginya.Nika teringat pada Riko dan penggalan-penggalan peristiwa beberapa jam lalu, hingga meletusnya pistol di tangan lelaki itu. Masih terngiang jeritan Riko di tengah kesunyian dekat pantai. Masih ingat dia ketika dirinya diseret paksa masuk mobil dan sesuatu disumpalkan ke mulutnya. 

 Nika membisikkan dalam hatinya semoga Riko masih hidup. "Oh Tuhan hanya Engkau maha tahu dan maha penolong bagiku, selamatkanlah dia yang kucintai. Aku akan datang lagi padanya, Engkaulah yang akan menuntun langkahku..."

Serangan nyamuk dalam keremangan itu mulai meresahkannya. Lehernya juga terasa gatal. Nika merasa tak tenang. Tak seharusnya terus bertahan di tempat ini. Jangan-jangan ada ular tiba-tiba muncul. "Aku harus menyingkir menjauh dari mereka."

* * * * *

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline