Lihat ke Halaman Asli

Menyahuti Fenomena Akik, Tapanuli Gemstone Hadir di Tarutung

Diperbarui: 4 Juli 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gebyar batu akik tak hanya melanda kota besar di Indonesia. Kota Tarutung di Sumut juga ikut ambil bagian meski tak sedahsyat di kota besar.(Leonardo TS)"][/caption][caption caption="Tapanuli Gemstone hadir di Tarutung, Sumut, menyahuti gebyar fenomena akik yang melanda Indonesia saat ini. (Leonardo)"]

[/caption]

 

 Batu akik sedang booming di Indonesia. Ya, faktanya begitu. Khususnya sejak awal 2015, fenomena akik itu tak lagi sekadar berita yang diberitakan media, tapi lebih dahsyat lagi diberitakan lewat mulut ke mulut. Maka cerita seputaran akik pun menggurita di mana-mana, dan ke mana-mana. Luar biasa!

 Hampir tiap kota yang disinggahi kompasianer di Sumatera Utara (Sumut) ikut "terlibat" menyahuti fenomena ini. Tak hanya di Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia. Di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Binjai, Sibolga, Padang Sidempuan, dan kota kategori kecil seperti Balige dan Siborongborong, tak mau ketinggalan. Para perajin atau tukang olah batu akik bermunculan di berbagai sudut kota. Dan Tarutung, salah satu kota terbesar di kawasan Tapanuli selain Sibolga dan Sidempuan, dalam beberapa bulan terakhir ikut berkiprah menyemarakkan "gila-gilaan" batu akik yang memang sedang mewabah di seantero negeri ini.

 Awalnya perajin akik di kota ini hanya satu orang di Jalan DI Panjaitan. Orang pun langsung berkerumun, ingin tahu. Kerumunan itu tiap hari bertambah ramai, ibarat menonton pedagang obat kaki lima. Belakangan banyak warga di seputaran Tarutung datang dengan mengusung bongkahan batu masing-masing. Entah dari mana batu itu didapat, dialah yang tahu. Lalu bongkahan batu itu disuruh olah oleh sang perajin. Harga setiap batu cincin yang diolah Rp 40 ribu. Kalau ditambah cincin pengikat yang dinamakan cangkang, Rp 70.000 - Rp 80.000, maka setiap peminat harus merogoh kocek: kena Rp 120.000. Begitu cincin sudah siap, biasanya langsung kenakan di jari manis atau tengah tergantung diameter. Tak jarang si pemesan asyik mengggosok-gosok batu cincinnya dan tak henti-hentinya memandang indah atau tidaknya batu yang baru diolah. "Paten juga batuku ini bah," kata seorang pria paruh baya pada temannya seraya menunjukkan batu cincin yang belakangan dia tahu namanya jenis raflesia Bengkulu.

 Lalu dari hanya satu orang awalnya, dalam tempo sebulan sejak Maret tahun ini, mulai bermunculan pengolah batu lainnnya di berbagai sudut. Tak harus di area perkotaan, di kawasan pinggiran bahkan kawasan desa, perajin akik bermunculan. Setidaknya, hingga akhir Juni lalu, di daerah ini sudah ada sekitar 15 perajin batu akik. Ada yang tampil single, tapi ada juga yang membuka lapak khusus agar kelihatan lebih bonafid, dilengkapi atalase tempat menggelar ragam batu dan cangkang siap olah. Maka tempat yang lebih bonafid ini pun ramai dikunjungi orang. Ada yang cuma sekadar menonton tata cara pengolahan, ada juga yang sengaja membawa batunya untuk dikerjai si perajin. Ragam komentar hingga yang beraroma "bual" pun sering terdengar di tempat pengolahan ini. Setiap hari, semua tempat pengolahan batu akik tak pernah sepi, kecuali pada hari minggu.

 Di pusat kota muncul salah satu usaha perajin akik yang diberi nama Gemstone Toba Na Sere. Pengusahanya patungan terdiri dari beberapa orang pesaham, yakni Naek Sihombing, Fajar Simatupang, Siburian, Sianturi. Di sini pengolahan batu jarang bisa cepat karena harus antre saking banyaknya pesanan. Mereka terobsesi andaikan di kota ini ada yang menggagas diadakannya pameran akik seperti sudah dilakukan Pemda di berbagai daerah. "Kami sedang mencermati secara intensif kalau sudah ada ditemukan bongkahan akik yang benar-benar spesifik dari Tanah Batak, tapi depositnya hendaknya lumayan banyak. kalau itu sudah ada kita pun sudah berani mengadakan pameran." ujar Naek Sihombing bangga. Ia menyebut sudah banyak batu temuan dari daerah Pahae, Garoga, Sipoholon, yang ditemukan, tapi belum ada yang benar-benar berdeposit besar.

 Tak hanya Toba Na Sere. Belakangan, Mual Siregar dan isterinya Poppy br Sinambela di kawasan Simaung-maung Jalan Sisingamangaraja Tarutung, ikutan membuka usaha pengolahan dan bisnis akik yang namanya keren "Tapanuli Gemstone". Mereka menegaskan, usahanya itu mengutamakan pengolahan batu produk Tapanuli, apakah itu dari Sidempuan, Sibolga, atau Toba Samosir dan Tapanuli Utara. Mual Siregar mengaku sudah melakukan perburuan batu ke berbagai pelosok Tapanuli, antara lain Dolok Pinapan dan Bakkara kampung Sisingamangaraja di Kabupaten Humbang Hasundutan, demikian juga di kawasan Tarutung seperti Dolok Martimbang , Siborgung, Pansurnapitu, dan lain-lain. Ragam batu yang bisa dijadikan batu cincin dikumpulkan dan dijadikan sampel di tempat usaha pengolahan yang dibukanya di depan rumahnya jalan Sisingamangaraja, Tarutung. Ternyata dari Tapanuli juga banyak ditemukan jenis batu akik berciri khas yang berpotensi untuk dikembangkan. "Kami ingin mengutamakan pengolahan sekaligus penonjolan batu berasal dari Tapanuli dalam kaitan semarak batu akik dewasa ini," papar Mual Siregar.

 Lalu, siapa saja peminat yang menonjol menyangkut hobi batu akik penghias jemari ini? Tak sebatas warga biasa. Para PNS juga banyak. Bahkan dari kalangan anggota Polri dan TNI, ada juga penyuka batu akik, bahkan mengkoleksinya.

 "Ini hanya hobi semata, karena ini merupakan seni yang menimbulkan rasa senang," ujar seorang kolektor akik di Tarutung. Ragam jenis batu dan keindahannya dianggap kekayaan alam yang pantas disyukuri dan dikembangkan menjadi salah satu asesoris untuk penampilan siapa saja. Nah! Boleh juga tuh pendapat.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline