Lihat ke Halaman Asli

Nama Jokowi Sakti Mandraguna?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

What is in a name. Apalah arti sebuah nama. Bagi penulis besar Inggeris, William Shakespeare, boleh jadi nama tak begitu berarti, atau tak bermakna. Setangkai bunga ros dengan nama apa pun disebut tetap saja aromanya harum.
Tapi suku bangsa (etnik) tertentu di negeri pelangi seperti Indonesia, sebut saja di kalangan suku Baduy, Batak Toba atau Batak Karo di Sumut, nama dianggap sesuatu yang penting, bahkan terkadang disakralkan. Makanya saat bayi masih dalam kandungan bunda, orang tuanya sudah mempersiapkan nama yang digadang-gadang bakal ditabalkan setelah lahir, laki ataukah anak perempuan. Bagi Batak beragama Kristen, penabalan nama anak baru sah setelah dibabtis pendeta di gereja. Bagi yang mampu, pembabtisan nama seorang anak dimeriahkan dengan pesta sykuran, bisa kecil, sedang, atau pesta besar. Kerabat, tetangga dekat, sahabat, diundang. Usai makan, acara dilanjutkan kata-kata sambutan berisi "pinta-pinta" (permohonan) kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Maha Kuasa) serta pepatah-pepatah khas, agar dengan nama tersebut si anak mendapat berkat dan limpahan rejeki. Kalau namanya si Monang semoga selalu jadi pemenang, kalau namanya si Tigor semoga menjadi orang yang lurus, jujur, atau kalau si Naga Bonar, kiranya menjadi seorang jantan sejati yang selalu berada di jalur kebenaran.
Hal yang sama juga bagi sub-etnik Karo. Konon, hal-hal unik atau ganjil saat kelahiran bayi bisa mengundang ide ayah atau ibu si bayi menabalkan nama berdasarkan keunikan yang terjadi. Suatu momentum sangat berharga dikaitkan pemberian nama sang anak. Contohnya nama Kitab Sembiring, mungkin saat kelahiran si anak ada sesuatu hal terkait sebuah buku. Atau Bambu Ginting, mungkin ada tautan dengan bambu.
Memang tak selalu nama yang dilekatkan pada si anak sejalan dengan karakter atau nasibnya ketika sudah dewasa. Yang namanya si Monang bisa ternyata tak selalu menang, tapi kalah melulu. Yang namanya si Tigor justru orang yang perangainya bengkok, suka menipu orang. Pemberian nama, jika memang ditengarai punya nilai makna pada seorang anak, hanya berupa pengharapan agar si anak menjalani hidupnya sejalan dengan nama yang diberikan. Banyak anak Batak yang namanya bukan berasal dari ayah ibu, tapi dari kakek atau paman. Konteksnya itu tadi: pengharapan agar nama yang diberikan menjadi berkat bagi si anak.
Dalam konteks penelusuran histori marga-marga Batak yang jumlahnya ratusan, diyakini nama marga yang kini disandang generasi pelanjut, asal muasalnya dari nama tertentu, atau ada yang terkait dengan nama tempat, peristiwa, karakter, atau momentum. Nama menjadi begitu berarti, sesuatu yang harganya mahal. Tapi, William Shakespeare tidak tahu hal itu, sehingga muncullah ungkapannya yang kesohor: apakah artinya sebuah nama.
NAMA SAKTI
Bahwa nama bisa sangat penting dan terkadang dikeramatkan, lihat juga kenapa nama raja-raja, nama tokoh sejarah, nama orang yang dianggap berjasa, ditabalkan menjadi nama jalan raya, nama sekolah, nama rumah sakit, et cetera, et cetera. Nama Jenderal Sudirman, Diponegoro, Sisingamangaraja, menjadi begitu penting historis bahkan sakral, diabadikan dengan frame sejarah.
Lalu, kenapa dengan nama Joko Widodo yang lalu dikemas dengan ringkasan populer "JOKOWI", terkait dengan ini semua. Dalam jurnalistik ada teoritika tentang "name make news" (nama membuat berita). Itu yang terjadi dengan Jokowi. Ada yang dengan nada gurau mengatakan nama Jokowi "sakti mandraguna" (tanda petik).
Rekan saya yang tampaknya akrab dengan reka-reka mitologis, menyebut ada sebagian (tapi tak banyak) manusia yang secara tak sengaja ternyata menyandang nama yang membuatnya jadi buah bibir dan hokinya sangat cemerlang. Tak banyak nama yang memiliki makna magis (magis?), atau tak banyak nama yang kemudian terpatri dalam etalase popularitas dan kesejarahan.
Soekarno, Napoleon, Cleopatra,  Saddam Husein, Marcopolo, Soeharto, Gus Dur, adalah beberapa nama yang mencuatkan efek besar semasa hidup bahkan sesudahnya. Terlalu hebatkah Jokowi disandingkan dengan nama-nama itu? Pada awalnya Susilo Bambang Yudhoyono biasa-biasa saja, ketika namanya belum diakronimkan menjadi SBY. Tiba-tiba saja akronim SBY itu meroket, jadi bua bibir terutama di kalangan Hawa. Mungkin saja akronim SBY itu, yang  memang khas dan enak disebut, mengantarkan sosok SBY masuk ke ranah bernama idolastik. Mencengangkan, dua kali memenangi pilsung presiden. Pada hal masih ada jenderal lain yang mungkin lebih cerdas dan lebih ganteng dari SBY. Dulu, jelang pilpres 2009, ibu-ibu yang sedang belanja di pasar di kampung saya bersendagurau mengatakan," aku masih akan pilih SBY, orangnya cakap berwibawa, senang deh dia menang lagi".
Kalau terminologi atau ukurannya ganteng atau wibawa, apakah Jokowi memilikinya? Tidak, sama sekali tidak. Coba perhatikan foto Jokowi bersama Megawati yang terpampang besar di Harian Kompas, Kamis (10/4). Tampak performa sederhana, terkesan udik, face yang lugu polos, kemeja putih terkesan tak mahal, lalu senyumannya yang bak senyuman guru deso.
Lalu, apa gerangan yang membuat Jokowi tiba-tiba kesohor ke mana-mana? Gaya kepemimimpinannya waktu di Solo? Bisa jadi. Trik blusukannya ke rakyat jelata? Bisa jadi. Meskipun sebenarnya blusukan itu sudah trend sejak lama diterapkan banyak kepala daerah kabupaten.Termasuk di kampung saya yang jauh di Sumatera, Kabupaten Tapanuli Utara, saat bupatinya dijabat Rustam Effendi Nainggolan. Ataukah faktor namanya yang Jokowi? Makin boleh jadi. Nama yang khas, gampang pop, gampang mewabah, beraroma Jawa deso, seakan punya magnet. Makin dicela dan dicerca makin top makin memikat banyak kaum, apa lagi setelah digadang-gadang Megawati mau jadi capres 2014-2019.
Back to soal nama tadi. Di kampung saya baru Maret lalu digelar pilkada bupati/wakil bupati. Jauh hari sudah banyak yang nongol mereklamekan diri jadi calon. Bahkan konon sudah ada yang rajin jalan-jalan dan memberi sesuatu kepada rakyat desa. Tiba-tiba ada orang (pengusaha kafe di Jakarta) bernama Nikson, muncul di tengah ramainya balon-balon bergerilya atur strategi. Ada adik bupati aktif, ada pengacara wanita dari Jakarta, ada mantan Wakil Wali Kota Jakarta Utara bernama Pinondang Simanjuntak. Ada delapan balon yang ditetapkan jadi calon bupati. Menjadi 16 orang dengan wakil.
Dibanding 7 calon rivalnya, kemunculan orang bernama NIKSON terhitung lebih telat. Tapi setelah nama ini muncul, langsung melejit, menempel di hati banyak orang, menghiasi perbincangan orang. Lalu ada warga berkomen, kalau Nikson itu seperti Jokowi mudah terkenal. Apa lagi partai pengusung Nikson sama dengan Jokowi, PDI Perjuangan.
Entah kenapa pula, ketika orang masih bisa lupa nama calon lainnya, tidak dengan nama Nikson. Makin banyak yang prediksi Nikson bakal terpilih jadi pemenang. Pada putaran pertama Nikson kalah suara dari cabup Saur Lumbantobing, meski perolehan suara tertinggi kedua. Tak ada yang sampai 30 persen, akhirnya MK putuskan putaran kedua. Pada putaran kedua inilah nama Nikson plus Mauliate membuktikan "kesaktiannya" (tanda petik). Nikson menang dengan persentase 52 persen plus.
Believe or not. Itu juga ditengarai faktor nama yang popular. Siapa tahu orang mudah ingat nama Nikson, karena sebelumnya sering dengar nama Presiden Amerika Richard Nixon yang terguling oleh kasus Watergate. Siapa tahu juga, nama Nikson itu ( karakter x di tengah jadi k) punya magnet tersendiri. Ya siapa tahu saja.
Ketika setelah bertandang di pilpres Juli nanti, Jokowi ternyata menang, saya makin percaya faktor nama seseorang membawa hoki. Penyebutan sakti mandraguna oleh teman saya mungkin cuma sebatas mem-pastekan istilah itu agar lebih bombastik. Kalau Jokowi kalah versus Prabowo? Ya, nama Prabowo juga termasuk dalam kategori nama " sakti mandraguna" (masih tanda petik). Yang lain susah populer seperti Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Abu Rizal Bakrie, apa tak termasuk kategori itu? Rekan rekaan saya itu belum menjawab. Dia asyik menerawang ke langit yang agak mendung pertanda mau hujan. Lalu dia menoleh, setengah berbisik," tapi bukankah Abu Rizal Bakrie itu sekarang sudah jadi ARB seperti dulu Susilo Bambang Yudhoyono jadi SBY? "
Saya mengangguk, mengyakan. Rekan rekaan saya itu, senyum berkata, " ARB juga layak diperhitungkan.
Aku Rasa Benar (ARB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline