Lihat ke Halaman Asli

Jalan-jalan ke Indonesia Timur: Kapal Jepang Patah Dua di Bom Sekutu

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13983061901469239119

[caption id="attachment_333053" align="alignnone" width="448" caption="Sumber: Kapal perang Jepang yang patah dua dibom sekutu di Laut Halmahera. Bangkai kapal masih terkapar di Sosol hingga kini.(Foto:Penulis)"][/caption]

[caption id="attachment_332884" align="aligncenter" width="448" caption="Kota pelabuhan bersejarah Ternate dengan latar belakang Gunung Gamalama yang eksplosif, difoto penulis dari kapal feri."]

13982184081334697366

[/caption]

Jalan-Jalan ke Indonesia Timur

Kapal Jepang Patah Dua di Bom Tentara Sekutu

Tidak mudah menemukan orang Sumatera di Maluku Utara. Perasaan asing menyergap, tatkala saya mendarat pertama kali di Bandara Sultan Babullah, Ternate, dalam perjalanan ke Indonesia Timur baru-baru ini. Komunikasi lisan pun terkesan agak tersendat,menyangkut logat bahasa setempat. Meski bahasa orang Maluku Utara tak terlalu jauh dari bahasa Ambon, tapi di sana-sini masih banyak perbedaan.

Adakah orang Batak atau orang Sumatera lainnya di Ternate,atau di Halmahera?,tanya saya sepintas pada seorang penumpang Batavia Air yang mendaratkan kami ke negeri berjuta kelapa itu. Sambil senyum, bapak itu mengatakan ada tapi jarang. Sebelum kemerdekaan, nyaris tak ada orang Batak di wilayah ini. Tapi seiring perkembangan masa, sejak dekade 70-an sudah lumayan orang Sumatera khususnya Batak yang datang ke Maluku Utara, khususnya di Ternate, Jailolo, Tobelo, Kao. Meski pun mereka itu kebanyakan adalah pejabat atau PNS,yang ditugaskan ke sana. Lebih bersifat temporer.

Saya bertolak dari Polonia Medan suatu sore akhir Januari lalu,naik Batavia Air,tiba di Jakarta jelang malam. Transit di Jakarta lebih kurang 6 jam, kemudian dengan pesawat berbeda bertolak pukul 01.35 pagi ke Ternate. Perjalanan naik pesawat ke Ternate membutuhkan waktu tiga setengah jam. Saat pesawat landing di Bandara Sultan Babullah, hari sudah terang benderang. Beda waktu dengan Sumatera dengan Maluku lebih 2 jam. Dalam jarak dekat saya melihat Gunung Gamalama yang sering menakutkan warga saat memuntahkan lahar dingin yang membuat warga pulau itu kalang kabut.

Untuk keluar dari Ternate ke pulau Halmahera, ada dua pilihan. Naik feri atau speedboat,ke Sofifi ibu kota baru Maluku Utara. Naik feri memakan waktu lebih satu jam, sedangkan naik speed butuh sekitar 40 menit. Ketika menaiki boat, saya sungguh cemas. Bayangkan,dengan kecepatan maksimal boat mengarungi Laut Halmahera rasanya terlalu lama tiba di pantai Sofifi. Dari Sofifi menuju Malifut sekitar 85 km,dan dari Malifut ke Tobelo sekitar 90 km. Tapi,kondisi jalan di wilayah ini sangat mengagumkan. Dari awal hingga ujung tampak mulus,nyaris tak ada lobang.

Selama dua minggu berada di Halmahera Utara, banyak hal menarik perhatian. Meski Maluku Utara (Malut) pernah dilanda kerusuhan pada 1999 silam, kondisinya kini sudah normal, walau sesekali masih ada gesekan kecil yang berpotensi merusak kebersamaan. Masyarakat mulai terjaga dari kemungkinan adanya gesekan berbau SARA. Suasana rukun antarumat beragama selalu didambakan mewarnai kehidupan warga. Di Malifut misalnya, suasana itu tampak terbungkus keakraban dalam berbagai even tertentu. Apakah saat ada hajatan,maupun komunikasi sehari-hari.

Keingintahuan tentang keberadaan orang Batak di pulau ini menguat saat saya berada di Sosol Kecamatan Malifut yang dihuni mayoritas umat Muslim. Tak jauh dari pantai Sosol, saya tertarik melihat ada bangkai sebuah kapal terlihat patah dua. Saat air laut surut, kapal itu bisa didekati dalam jarak sekitar 20 meter. Ternyata bangkai kapal perang yang patah itu menyiratkan kisah tersendiri bagi warga Malifut dan Kao. Sekitar tahun 1944 sebelum kemerdekaan, kapal perang berbendera Jepang sedang berkeliaran di perairan Halmahera. Kapal itumengangkut puluhan serdadu Jepang, termasuk sejumlah laskar Heiho (tentara pribumi bentukan Jepang). Di antara Heiho itu ada sejumlah orang dari Sumatera, bermarga Pasaribu, Hasibuan,Siregar, dan Lubis. Diperkirakan direkrut Jepang dari Sibolga dan Mandailing Tapanuli Selatan..

Tiba-tiba pesawat sekutu muncul, langsung membombardir kapal tersebut, sampai patah dua (lihat foto). Suasana panik pun terjadi. Banyak serdadu Jepang tewas,jasadnya berserakan di dalam kapal maupun mengapung di permukaan laut. Namun ada juga sebagian yang berhasil menyelamatkan diri, berenang menuju pantai Malifut dan Kao. Di antara yang selamat dari gempuran pesawat sekutu, tercatat beberapa orang Batak tadi. Serdadu Jepang yang selamat dan beberapa orang Batak ditangkap petugas keamanan Indonesia di Kao. Bahkan, orang Batak yang jadi Heiho itu sempat ditahan,meski belakangan mereka berhasil menjebol ruang tahanan dan lari berpencar. Di antaranya,Zainuddin Pasaribu, Siregar, Hasibuan, Lubis. Ada yang lari ke arah Tobelo,yakni Hasibuan dan Siregar. Hingga kini mereka sudah beranak pinak di Halmahera. Ada yang lupa asalnya atau silsilahnya, mungkin karena orang tua mereka semasa hidup kurang bercerita tentang hal itu.

Nurahma boru Pasaribu salah seorang anak perempuan Zainuddin Pasaribu, menuturkan hal itu ketika saya temui di rumahnya di Desa Kao. Perempuan berusia 60-an ini kawin dengan Guraci, pria asal Kao. Sedangkan saudara lelakinya ada yang jadi guru di daerah itu. “Saya rasa ayah saya dan kawan-kawannya yang selamat itulah orang Batak pertama yang datang ke pulau ini,” tutur Nurahma boru Pasaribu. Perempuan yang sudah bercucu ini tak bisa lagi berbahasa Batak,bahkan seperti pengakuannya tak tahu lagi jelas silsilahnya. Yang dia masih ingat berdasarkan tuturan ayahnya sebelum meninggal, bahwa mereka berasal dari sekitar Barus di Tapanuli Tengah. Dia kelihatan sangat senang saat tahu orang yang datang menemuinya hari itu adalah orang dari Sumatera.”Sangat senang,sangat senang, sebab jarang bertemu orang Sumatera apa lagi orang Batak,” katanya saat muncul menyuguhkan teh untuk saya. Dia menyebut, rekan ayahnya yang lolos dari kapal Jepang itu juga sudah meninggal. Tapi keturunannya masih ada di Halmahera Utara. Antara lain di Tobelo dan mungkin di Galela. Nurahma dan saudara-saudaranya sudah menyatu dengan kultur suku yang ada di Halmahera. Hanya karena pesan orang tuanya mereka tahu bahwa mereka keturunan Batak dari Sumatera. Mereka memiliki tanah cukup luas, hidup seperti halnya penduduk setempat. Bahkan marga Pasaribu itu masih melekat kalau kebetulan bertutur tentang asal muasal.

Orang Sumatera Utara lainnya yang ada di Halmahera ada marga Lubis yang beristerikan perempuan setempat. Uniknya, istri Lubis bernama Ida Sosol itu justru adalah kepala suku di sana. Katanya, dia sudah ditabalkan jadi boru Pardede,saat pernah tinggal di Pekanbaru,Riau. Dia juga mahir berbahasa Batak berkat pengajaran suaminya. Bahkan, Ida sangat tertarik dengan silsilah orang Batak.” Huajarhon do tu dakdanak i, asa unang lupa nasida marmarga Lubis,jala asa diboto tarombona,” ujar Ida saat saya ajak berbincang.Bahasa Bataknya cukup kental,tak terkesan bahwa dia perempuan asli Halmahera. Maksudnya, saya selalu ajarkan pada anak-anak agar jangan lupa bahwa mereka marga Lubis, dan supaya mereka tahu silsilahnya setelah dewasa kelak.

Kapal perang Jepang yang terkapar dan patah dua di Pantai Sosol, tampak bagaikan sebuah monumen bersejarah,khususnya bagi warga Kao dan Malifut. “Itu sudah jadi sebuah tanda bersejarah dari kecamuk perang dunia yang pernah berkobar di daerah ini,” ujar Reynold Simanjuntak,yang sudah puluhan tahun tinggal di Halmahera,bahkan sudah beristrikan wanita Halmahera. Saat senja dan malam menyergap, bangkai kapal perang itu tampak menyeramkan.Tapi warga setempat tak terusik oleh kisah-kisah gaib dari keberadaan kapal tersebut. Sayang sekali, tampaknya belum ada ide atau upaya dari Pemprop Maluku Utara atau Pemkab Halmahera Utara untuk menjadikan kawasan seputar kapal perang itu,menjadi sebuah obyek wisata sejarah. Mungkin suatu saat itu bakal terjadi. Beberapa catatan tentang sisi lain dari wilayah ini diturunkan pada penerbitan mendatang.

Tampaknya warga sekitar Kecamatan Malifut dan Kao kurang berani menginjakkan kakinya ke kapal yang sudah 70 tahun terlantar di Laut Halmahera. Beberapa orang pemuda ketika saya tanya apa mereka pernah jalan-jalan ke kapal patah itu, dijawab dengan mimik kecut.” Takut bang, katanya pada malam hari sering ada suara orang menangis di sana,” kata Aren Joy pemuda setempat sambil geleng kepala. Pada suatu pagi saya ditemani Aren Joy menyusuri pinggiran laut ketika sedang surut, memotret kapal itu dari jarak sekitar 30 meter. Saya sendiri ingin melihat keadaan kapal yang kena bom itu lebih dekat, tapi niat itu saya batalkan. (Leonardo Joentaknamo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline