Boleh jadi semacam gurau, sinisme, atau ngeledek, kalau pertanyaan itu tercetus: Pada pemilihan presiden nanti apakah masih ada uangnya? Tentu pertanyaan seperti ini menggelinding, karena terkait atau dikaitkan pengalaman pada pileg atau pilkada yang digelar sejak era reformasi diterapkannya pemilihan langsung.
Semua orang tahu di Nusantara maha luas ini, setiap pilkada gubernur atau bupati/walikota digelar, permainan dengan trik pemberian sesuatu sudah jadi rahasia umum. Ada berupa uang tunai, atau hanya benda tertentu. Selalu ada yang terbukti tapi ada saja yang dari bisik-bisik, menjelma jadi rumor. Lalu pada pileg baru lalu apa lagi. Tak lagi cuma desas-desus, sudah banyak masalah dan pengakuan muncul ke permukaan. Barangkali tulisan anekdot atau opini di Kompasiana sudah begitu banyaknya sebagai rujukan untuk pembenarannya.
Bahwa pola permainan merebut suara pemilih dari waktu ke waktu juga mengalami modifikasi atau perubahan, tak perlu susah menelusurinya. Dulu misalnya, calon legislatif untuk provinsi dan pusat tak begitu kelihatan sepak terjangnya mengupayakan perolehan suara di daerah pemilihan (dapil). Sampai pada pileg 2009, paling para tim sukses atau juru kampanye yang sibuk pasang baliho, poster, selebaran, kartu nama, dan kalender. Tak terdengar ada caleg provinsi atau pusat yang mengambil hati pemilih yang turun bikin pertemuan, apa lagi bagi-bagi uang atau bentuk suvenir seperti kain sarung atau payung berlogo caleg. Rakyat masih memilih calon menurut keinginan masing-masing, faktor marga, faktor satu kampung asal, atau simpati pada partai pengusung.Atau kalau tidak, mungkin banyak pemilih tidak memilih siapa-siapa sama sekali, dan siapa tahu ada yang memilih tak sesuai ketentuan sehingga berakibat batal atau blanko.Itu sangat sering ditemukan di TPS. Satu contoh, dulu Rudolf Pardede bisa duduk di DPD karena mendapat suara besar dari dapil yang jadi kampung asalnya. Orang memilih di dapilnya mungkin bukan selalu karena tahu siapa dia, melainkan karena lihat namanya saja maka banyak yang mencoblos dari pada tak mencoblos siapa-siapa.
Kemudian kita cermati pada pileg 2014 yang baru berlalu. Entah karena makin banyaknya tokoh yang maju jadi caleg untuk provinsi dan pusat, para caleg incumbent maupun yang new comer, seakan tak percaya diri lagi. Sebagian di antaranya pun sudah mengintensifkan gerakan dengan gebrakan-gebrakan baru bermuatan pendekatan materil, apakah itu mengadakan makan bersama, penyaluran benda yang dimaksudkan sebagai suvenir, bahkan pembagian berupa sekadar uang tunai yang dianggap sebagai uang "ingat-ingat". Tim yang bergerak ke tengah pemilih pun sudah melakukan pendataan, meregistrasi nama penduduk yang nantinya diharapkan sebagai pemilih yang militan. Walau pun kenyataannya tak sesuai yang diharapkan, banyak dari nama yang terdata itu tidak konsisten alias lari memilih caleg lain.
Saya (penulis) yang kerap singgah di berbagai kota di Sumatera Utara mencermati perkembangan itu sebagai pernak-pernik demokrasi yang fenomenal. Tak ada duitnya seolah rakyat tak bergairah untuk memilih. Ada uangnya juga tak jadi garansi bahwa si penerima akan mencoblos si pemberi. Nama-nama caleg pusat seperti Johnny Allen Marbun, Ruhut Sitompul, Roslinda Marpaung, Juliski Simorangkir, Sutan Batugana, dan entah siapa lagi sibuk bergerilya bersama tim melakukan pendekatan dengan cara masing-masing ke dapilnya. Lalu suara-suara dari tengah masyarakat mencetuskan pengakuan telah menerima sesuatu atas nama caleg. Seakan hal seperti itu sah-sah saja, dan bukan suatu pelanggaran berdemokrasi lagi.
Maka di ruang lingkup Sumatera Utara dengan aksen Bataknya yang kental, sapaan "Adong do hepengna" (adakah uangnya) makin akrab di telinga. Sekadar guraukah atau ngeledek?
Ketika saya ke Medan usai pileg 2014, dua orang ibu yang berkisah pengalaman seputar pileg April lalu, bertanya pada temannya,: pada pemilihan presiden nanti apakah masih ada uang yang jalan-jalan? Masih adakah uangnya?"
Lalu teman ibu itu menjawab polos " Ah tak mungkinlah itu, mana mungkin membagi uang pada begini banyaknya orang, itu tak masuk akal lagi. Apa lagi kalau calon presiden hanya tiga pasang, mimpilah itu kalau pakai uang untuk dipilih".
Salah seorang ibu lainnya menolak pembicaraan berandai-andai soal pemilihan presiden, itu tak bisa dibenarkan, berdosalah rakyat kalau untuk memilih pemimpin bangsa dan negara harus mengharapkan duit. Itu tak bisa ditolerir,tegasnya.
Maksud ibu itu, pemilihan legislatif jangan disamakan dengan pemilihan presiden. Beda memilih gubernur, beda memilih bupati, beda memilih presiden. Tak semua pemilihan harus menggunakan uang. Titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H