[caption id="attachment_336621" align="alignnone" width="640" caption="Pandumaan desa terpencil yang lengang tanpa tawa anak gadis.(Foto kompasianer 2014)"][/caption]
[caption id="attachment_336625" align="aligncenter" width="448" caption="Jalan lengang ke Pandumaan. Perantau yang mudik harus siap gulung celana jalan kaki dua jam.(Foto kompasianer)"]
[/caption]
Tak ada lagi anak gadis di seputaran desa ini. Fakta yang mencengangkan. Pandumaan, salah satu dusun di lingkungan desa Batu Manuppak, Kecamatan Nassau,Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara tergolong kampung yang unik, selain terpencil karena buruknya kondisi jalan. Dusun berpenduduk 48 kepala keluarga (KK) ini, selain posisinya berbatasan langsung dengan wilayah Labuhan Batu, letaknya persis di kaki gunung Dolok Batu Bontar, seakan menjadi dinding kokoh yang melindungi kampung ini di sebelah timur. Kalau bukan karena ada family dekat di dusun ini, pasti saya tak pernah menginjakkan kaki ke sini.
Dolok (gunung) itu diyakini memendam misteri tersendiri. Dinding gunung berwarna keputihan, sebagian tampak ditumbuhi pepohonan, sebagian lainnya gundul. Dan di lereng gunung itu, di antara rimbunan pepohonan yang lebat, terdapat goa besar yang selalu diwaspadai penduduk. Panjang goa dilukiskan mencapai lebih 100 meter.”Orang tua pendahulu kami pernah masuk ke sana, tapi kami takut, pada hal belum pernah ada kejadian yang harus ditakutkan,” ujar Sitorus, seorang warga kepada kompasianer yang jalan-jalan ke sana dua minggu lalu.
Mereka tak tahu pasti, apa benar gunung itu memiliki kandungan emas. Namun beberapa kali ada pendatang sengaja datang hanya mengambil batu putih itu sebagai sampel.”katanya untuk diteliti, tapi hasil penelitian itu tak diketahui,” tutur Oppu Pandu Sipahutar, warga lainnya. Tapi, ada semacam kepercayaan penduduk, jika emas di gunung itu dieksploitasi, maka penduduk harus pindah dari tempat itu. Kenapa. Karena diwanti-wanti, “penghuni” gunung itu bisa marah besar, sehingga menimbulkan akibat tidak baik.
Warga kampung Pandumaan yang berkerumun saat berbincang mengatakan kehidupan di kampung itu berjalan normal,meski dililit kemiskinan. Pasalnya, posisi yang relatif jauh dari ibukota kecamatan menjadi kendala tersendiri memasarkan hasil bumi.”Dulu, leluhur kami jalan kaki setengah hari ke kecamatan. Sekarang lumayan, setelah kami gotong royong membuka jalan walaupun masih parah dilalui sepeda motor,” tutur seorang ibu menimpali. Mereka merasa belum merdeka, walau pun pemerintah melakukan pembangunan di sana-sini.”Wartawan juga belum pernah ke sini, untuk melihat dan mendengar keluhan kami secara langsung,” imbuh S Sipahutar, salah satu pengetua kampung.
Meski hidup dalam keterasingan , semua warga tetap ceria. Mereka memonitor perkembangan nasional dan internasional melalui tv yang dihidupkan dengan mesin genset di rumah Ompu Pandu. Saat tv dihidupkan terkadang sekali tiga hari, warga pun nonton bareng sore hingga malam hari.”Kami merindukan listrik seperti kampung lainnya, tolonglah disampaikan ke pak Kasmin (bupati),” ujar boru Baringbing berharap.
Hal unik lainnya, di desa itu nyaris tak satu pun anak gadis remaja dan dewasa kelihatan. Saat ditanya, mereka katakan semua anak gadis di desa itu berada di rantau .”Anak gadis kami semua merantau,tak ada yang tinggal. Maklumlah di sini apa yang diharapkan. Mau melanjut sekolah pun terlalu jauh. Lagi pula, siapa tahu di rantau ketemu jodoh, karena di sini semua keluarga,” ujar warga lainnya.
Ketiadaan anak gadis di kampung, tentu saja menyebabkan Pandumaan jarang dikunjungi doli-doli (pemuda).”Pokoknya tak ada pemuda datang kalau untuk bertandang ke anak gadis, kecuali suatu saat gadis kami pulang kampung,maka ramelah kampung dikunjungi anak muda dari kampung tetangga,” ibu boru Silaen tertawa. Anak gadis kampung ini merantau ke berbagai kota, ada yang sekolah dan ada yang tinggal di rumah kerabat dekat, ada yang jadi buruh pabrik. Suatu waktu kalau gadis-gadis itu pulang kampung, mereka jadi pusat kerumunan warga. Gadis kampung itu setidaknya membawa perubahan. Dari gaya berpakaian, asesoris, punya handphone kelas BB, tablet yang lagi musim, dan lain sebagainya. Pada musim mudik Natal dan Tahun Baru, mereka sangat risau, karena kondisi jalan buruk berbatu-batu, harus dilalui dengan jalan kaki kurang lebih dua jam dari desa terdahulu. Boleh naik motor roda dua, tapi harus siap perut jumpalitan dan tahan napas. Kalau pengendara motor tak hati-hati apalagi musim hujan, peluang masuk jurang sangat besar.
Warga mendambakan perhatian bupati dan anggota DPRD yang mereka pilih, karena kalau tidak, mereka merasa hidup di ujung dunia seperti dikatakan warga kampung.” Desa kami ini sebenarnya sudah di ujung dunia,” katanya memelas, menggambarkan keterpencilan yang mala membelenggu manusia yang ada di sana. Tapi, tampaknya perubahan itu terlalu lamban datangnya. Entah kapan dusun ini bebas merdeka. Cahaya listrik juga lama diimpikan, untung ada listrik tenaga surya, lumayan pada malam hari walau cahayanya redup.
Berapa banyak lagikah desa terpencil seperti ini di negeri kita yang tiap lima tahun ganti presiden, ganti gubernur, ganti bupati. Di pulau lain seperti Jawa dan Kalimantan, masihkah ada desa selengang dan seterpencil ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H