Lihat ke Halaman Asli

Kudeta Militer di Thailand, Pers Kena Taji

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luar biasa konyolnya kondisi negeri gajah putih ini pasca kudeta perebutan kekuasaan oleh militer. Apa yang terjadi di negeri itu menunjukkan kepada dunia, betapa negeri ini masih rentan dengan prinsip-prinsip konservatisme, yang paradoks dengan upaya membangun demokrasi, termasuk membangun kemerdekaan pers yang sehat.
Konyolnya lagi saat militer berkuasa secara ilegal, militer Thailand mengumumkan telah mengambil alih pemerintahan. Setelah itu, sebagaimana dilaporkan oleh The Next Web, pihak militer mengancam bakal memblokir media sosial di negeri tersebut apabila dipakai publik untuk mengkritik para pemimpin militer atau menyebarkan huru-hara. Langkah mematikan kebebasan pers ini oleh pihak Amerika dianggap sebagai langkah mundur yang tragis terkait HAM dan kebebasan pers.Kalangan pelaku media di Thailand setidaknya berulang kali merasakan tajamnya "taji" kekuasaan militer, yang memposisikan Pers bebas berada dalam tanda petik.

Mengutip berita yang dirilis media online, militer Thailand telah mematikan siaran 14 stasiun televisi nasional dan sekitar 3.000 stasiun radio setelah memberlakukan status darurat militer. Sebuah stasiun TV dipaksa menarik video feed YouTube yang tetap beredar setelah siaran teresterial dihentikan.

Jaringan internet relatif belum disentuh, namun pihak militer telah memanggil para penyedia jasa internet (internet service provider/ISP) untuk bertemu dalam sebuah rapat.

Thailand sebelumnya pernah beberapa kali menyensor konten internet. Pemerintah Thailand pada 2006 pernah memblokir YouTube karena memuat video yang dipandang melanggar undang-undang soal kritik terhadap raja dan keluarga kerajaan. Regulasi yang sama pernah dipakai untuk memblokir sekitar 10.000 laman Facebook.

Menurut catatan,dua tahun lalu, Thailand juga menjadi salah satu negara pertama yang mendukung fitur sensor di Twitter. Masih belum diketahui apakah pihak militer akan benar-benar melaksanakan pemblokiran media sosial yang pengumumannya disiarkan pada Jumat (23/5/2014) dini hari.

Di Thailand sendiri terdapat sekitar 25 juta pengguna Facebook terdaftar, sementara aplikasi pesan instan Line telah diunduh 20 juta kali di negeri ini. Adapun jumlah pengguna Twitter tidak diketahui, namun bahasa Thailand diperkirakan merupakan bahasa ke-12 yang paling banyak digunakan di jejaring sosial 140 karakter tersebut.

Jika kondisi tersebut dibandingkan dengan Indonesia pasca berakhirnya kekuasaan orde baru, kita boleh menarik napas lega karena pertumbuhan demokrasi seiring kebebasan pers, sudah jauh lebih mantap dari beberapa negara berkembang termasuk Thailand, Myanmar, Filipina. Secara jujur harus diakui selama kepemimpinan SBY, ini salah satu yang boleh diacungi jempol. SBY tampaknya sadar betul, tumbuh tidaknya demokrasi di sebuah negara terindikasi dari kebebasan pers yang benar-benar merdeka tanpa terlalu banyak syarat maupun prasyarat.

Dalam konteks pilpres Indonesia, itu juga nanti yang bakal dicermati sebagai parameter, sejauh mana Prabowo dan Jokowi mempertahankan atau meningkatkan kebebasan pers yang jadi bagian krusial dari pemahaman demokrasi. Tentu saja para pelaku pers itu harus mengimbangi kearifan pemerintah menyangkut kebebasan pers melalui peningkatan kualitas dan komitmen pengawalan terhadap aspek-aspek demokrasi tersebut.

Kita optimis pengekangan atau pembunuhan kebebasan pers seperti dipragakan militer Thailand, tak akan pernah terjadi di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline