Siapa bilang harus orang kaya atau harus pontang-panting berbisnis ke sana-kemari, supaya bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Seribu satu jalan ke Roma. Agaknya filosofi ini yang mengilhami dan mendorong Hutauruk seorang warga desa Lumbanrihit, Kabupaten Tapanuli Bagian Utara, Sumatera Utara, yang hanya dengan areal lahan sempit sekitar dua rante bisa mengantarkan dua anaknya ke universitas, meskipun itu ke fakultas swasta.
Awalnya Hutauruk berjalan-jalan suatu ketika ke Tanah Karo. Dia terpesona melihat tanaman jeruk manis yang bertebaran hampir di seantero Brastagi dan Kabanjahe. Lalu Hutauruk menyambangi beberapa petani marga Ginting dan Tarigan di seputaran Brastagi. Seperi wartawan sedang wawancara dengan petani, Hutauruk banyak mendapat input pelajaran berharga tentang bagaimana bertanam jeruk yang baik. Pertama, kata Ginting, harus ada ketetapan hati, mau betul-betul mau ngurus tanaman lemon ini dengan hati, atau hanya sekadar iseng. Itu harus dibedakan. Kalau hanya iseng, yah pengurusannya juga iseng. Kalau mau serius dan tanaman jeruk ditujukan untuk mata pencaharian, maka pengurusannya juga harus serius. Hutauruk bercerita kepada kompasianer, ia harus rela bermalam di Tanah Karo atas kebaikan sang petani yang disambanginya. Di situlah Hutauruk diberi ragam wejangan cara bercocok tanam jeruk madu, hingga pengobatannya jika diserang hama. Bahkan beruntungnya, Hutauruk pun diajari meresep obat-obatan non kimia untuk mengebalkan tanaman dari hama dan labilitas cuaca, sekaligus mempercepat pertumbuhannya.
Sepulang ke kampungnya di Lumbanrihit (ini juga kampung asal Johnny Simanjuntak mantan anggota DPR-RI), Hutauruk diskusi dengan isterinya boru Sibarani. Mereka punya areal terbengkalai tak jauh dari rumahnya, tapi luasnya cuma sedikit. Hanya sekitar 40 x 40 meter kuadrat. Timbul ide Hutauruk untuk membuka perkebunan kecil khusus jeruk di sana. Isterinya pun setuju. Awalnya ada tanaman kopi di sana, itu dirasakan tanggung, selain kurang memadai hasilnya. Hutauruk mulai melakukan pembersihan, meratakan areal sedikit itu. Itu terjadi sekitar tujuh tahun lalu, saat Hutauruk mulai menanami bibit jeruk madu di sana. banyak warga kampung yang mencibir bahkan mencemoh, menganggap kebun jeruk itu bakal gagal, karena kontur tanah di situ dianggap tak cocok untuk jeruk. Tapi, Hutauruk tak surut. Dia bekerja seraya berdoa " Ya Tuhanku, berilah petunjukmu, kalau usahaku ini percuma seperti dikatakan orang, Engkaulah yang maha tahu dan mau mengajari aku. Tolonglah Tuhan, aku punya anak-anak yang Engkau berkati pada kami, mereka akan kami sekolahkan kemana pun sampai batas kemampuan kami. Tapi kami ini orang miskin Tuhan, tak punya apa-apa, tak berdaya jika anakku minta disekolahkan lebih tinggi, tapi jika Tuhan menolong kami apapun bisa terjadi."
Itulah doa Hutauruk seperti dituturkannya dengan polos. Sebagai petani miskin, Hutauruk harus menyerah jika dihadapkan pada kebutuhan pupuk kimia yang harganya sangat liar. Untunglah Hutauruk ingat petuah petani Karo yang baik itu. Untuk bertanam jeruk madu, jangan terlalu andalkan pupuk kimia, tapi utamakan pupuk organik. Daun dan ranting busuk, atau segala macam yang bisa dibusuki berbentuk sampah, dimasukkan ke dalam sebuah takkal (tanah dilobangi tempat penumpukan sampah), itulah modal utama Hutauruk mengawali kebun jeruknya. Pemakaian pupuk kimia memang dilakukan sekedarnya hanya sebagai pemancing, yakni pupuk urea dan KCL. Selebihnya Hutauruk rajin membabati rerumputan, dimasukkan ke takkal. Jerami yang ada dipersawahan menjadi salah satu bahan unggul pembuatan kompos. Sedangkan untuk obat-obatan anti hama, Hutauruk menerapkan membuat sendiri sesuai petunjuk petrani Karo itu.
Saat itu Hutauruk sempat dihinggapi pesimisme. Sempitnya lahan yang dimiliki, hanya bisa ditanami sekitar 80 batang jeruk. Tapi isterinya terus mendorong,memberi semangat. Tahun demi tahun berlalu. Hutauruk makin semangat melihat pertumbuhan jeruknya yang pesat dan bagus. Pada tahun ke empat mulai berbuah. Saat pertama dicicipi, Hutauruk bersorak girang. Rasanya begitu manis, tak obahnya seperti jeruk Karo yang dicicipinya di Brastagi. Mulanya hanya beberapa kilo hasilnya saat panen perdana. Tapi berikutnya pembuahan jeruk itu sangat meningkat hebat. Hutauruk memprogramnya dengan ukuran jeruk super, agar lebih meyakinkan dijual.
Ketika buah jeruknya makin banyak dengan kualitas terjamin, Hutauruk dan isterinya menempuh cara berbisnis sendiri. Tak mau menjual ke toke penampung. Kebetulan isterinya sudah pengalaman menjual sayur mayur ke pasar, maka jeruk mereka itupun diecer sendiri setiap hari pekan Rabu dan Sabtu ke onan (pasar) Tarutung yang terdekat. Uang penjualan jeruk itu dikumpul dengan menggunakan sistem ketahanan ekonomi mikro. Pengeluaran untuk kebutuhan kebun dicatat dengan baik, pemasukan juga dicatat rapi. Maka kelihatan untung ruginya."Ternyata untungnya begitu besar, dalam dua atau tiga kali panen kami bisa mendapat uang sampai sepuluh juta lebih, karena kami menjual langsung ke pembeli," tutur Hutauruk bersemangat.
Rasa jeruk produksi Hutauruk tetap stabil, sehingga banyak pembeli jadi langganannya. Ketika Hutauruk dan isterinya tak hadir di pasar, para langganan sudah mencari-cari. banyak di anatarnya memilih tak beli buah jeruk, kalau bukan jeruknya Hutauruk. Kalau jeruk lain ada yang asam, maka jeruknya Hutauruk adalah jaminan mutu.
Menurut dia, dua anak lelakinya bisa disekolahkan ke fakultas, berkat hasil kebun jeruk yang 80 batang itu. satu diantaranya bahkan sudah pernah dikirim tugas belajar ke Jepang." Terkadang saya menganggap ini mujizat, mana bisa dengan 80 batang jeruk bisa sekolahkan anak-anak sampai ke perguruan tinggi. Tapi itulah berkat doa saya dulu, rupanya Tuhan mendengar dan menatap kami. Sungguh suatu mujizat yang sangat saya syukuri." papar Hutauruk. Belakangan, Hutauruk juga sudah beli sebuah mobil oplet bekas. Mobil oplet itu digunakannya untuk pengangkutan jeruknya saat panen. Lelah naik sepeda motor, Hutauruk ingin lebih sehat meneruskan perjuangan.
Ketika kompasianer mencicipi jeruk yang ditawarinya saat bertemu di kebunnya, rasanya yang benar-benar very sweet membuat kompasianer merogoh kocek, membeli lima kilo, sebagai oleh-oleh buat keluarga. Saya merenungkan temuan saya hari itu jalan-jalan ke kebun kecil Hutauruk sarat dengan filosofi perjuangan dan konsistensi serta optimisme orang kecil seperti Hutauruk. Ternyata betul juga, bukan selalu yang banyak itu yang membuat penuh, tapi yang sedikit itu bisa jadi banyak dan penuh, jika dilakukan dengan terarah berbekal doa kepada Yang Maha Kuasa.
[caption id="attachment_349930" align="aligncenter" width="300" caption="Hutauruk dengan pohon jeruknya yang memberi rejeki. Hanya 80 batang bisa sekolahkan anak.(Foto:Leonardo)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H