Lihat ke Halaman Asli

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (6)

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Nika merasa kedamaian melembuti hatinya setelah berada di Parapat. Kota yang benar-benar hadir di dunia untuk dinikmati penyuka ketenteraman. “Terima kasih Tuhan, Engkau selalu menyertaiku,” bisiknya setelah taksi berhenti dekat dermaga Tigaraja. Di sana sedang ramai dengan pasar buah. Di sebuah kedai, sejumlah orang bule asyik berbincang dengan pria pribumi yang sudah mahir berbahasa Inggeris. Turis itu tampaknya mau ke seberang juga.

Semula memang Nika mau menginap di Parapat semalam dua malam. Tapi ia menunda niat itu. Entah kenapa ia ingin secepatnya ke Tuktuk. Di sana rasanya lebih tenang, tanpa hiruk pikuk. Sopir taksi itu banyak mengenal orang sekitar. Dia pria menyenangkan, fleksibel bergaul. “Sebentar lagi ada kapal mau berangkat, nona. Itu turis Amerika dan Belanda juga mau ke Tomok,” kata Sopar menunjuk kumpulan turis di halaman kedai.

Sopar turun dari mobil.” Sebentar nona, saya kenal orang-orang di kapal sana. Saya akan titipkan nona ke kapal yang warna biru itu,” Sopar bergegas menuju dua anak muda yang melambaikan tangan mengisyaratkan kapal sebentar lagi akan berangkat. “Tomok...Tuktuk, kita akan berangkat,” seru dua anak muda di atas geladak.

Nika lega. Hatinya berdecak kagum. Rupanya manusia di Sumatera ini masih lebih santun dibanding daerah lain yang pernah dikunjunginya. Nika melepas pandang ke arah ibu-ibu penjual buah di pasar kecil itu. Lalu dilihatnya Sopar sedang bicara dengan anak buah kapal motor itu, seraya menunjuk ke arah taksi. Sopar melangkah cepat menemui Nika.” Kebetulan nona, abangnya pemuda di kapal itu punya mobil rental di Tomok, tadi dia sudah hubungiagar dia yang membawa nona sampai ke Tuktuk. Perjalanan nona akan lancar...”

“Terima kasih banyak Pak Tompul, bapak sungguh baik,” kata Nika seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya, membayar uang carteran. “Dan ini sebagai tips terima kasihku pada bapak, tolong kasi sama ibu di rumah,” katanya lagi, dan memberi lima ratus ribu rupiah lagi sebagai tambahan. Sopar pun mengangguk-angguk mengucapkan tiga kali mauliate. “Mauliate nona, artinya terima kasih,” kata Sopar tertawa lebar.”Aku tau kok Pak, apa artinya mauliate,” sambut Nika senyum.Senyuman manis itu mengingatkan Sopar pada senyuman Widiawaty artis isterinya Sopan Sophian.

Seorang ABK kapal motor setengah berlari menjemput koper Nika, membawanya ke dalam kapal.”Hati-hati ya nona, tapi jangan takut. Saya sudah titipkan pesan pada Manurung teman saya di kapal itu untuk menjaga nona dengan baik. Saya juga punya kenalan di hotel yang ada di Tuktuk, nanti saya telepon. Tapi, coba lagi nama nona siapa ya, biar aku bilang sama pegawai hotel , apakah nona nanti ke Hotel Silintong, Carolina, atau Marroan Hotel.” Nika menyebut namanya, dan meraih tas sandangnya dari jok mobil.” Sekali lagi mauliate Pak,” kata Nika mengumbar senyum.

Seorang anak remaja menuntun Nika melalui tangga kapal. Seorang pria penumpang yang berdiri di geladak berkata pada temannya,” Bah, sai songon bintang pilim Jenniper Lopes na di tivi i puang anak boru an,”. (Bah, anak gadis itu seperti bintang film Jennifer Lopez yang di tv itu ya). Rupanya pria itu pernah nonton Jennifer Lopez dan mengidolakannya. Ada sekitar 25 orang penumpang kapal itu termasuk tiga turis bule. Mereka menatap Nika dengan tatapan kagum. Sosok Nika mengenakan celana jins ketat membungkus bokongnya yang padat, blous kaos merah bergaris hitam, rambut lewat sebahu yang dibiarkan lepas tertiup angin sore Parapat yang sejuk, dan kaca mata hitam yang mangkal di atas keningnya, membuat performa gadis Jakarta ini wajib mengundang perhatian. Empat orang ibu-ibu tampaknya adalah pedagang yang membawa belanjaan dari Parapat. Ada keranjang berisi mangga dan duku. Selainnya tumpukan barang kelontongan di sudut kapal. Salah seorang ibu itu berbisik pada temannya dalam bahasa lokal,” Uli nai ate, songonna marsinondang simalolongnai idaon songon bintang.Pasti boru ni namora do on sian kota.” (Cantiknya gadis itu ya, matanya bercahaya seperti bintang, pasti dia anak orang kaya dari kota).

Nika sedikit rikuh juga semua menatap dirinya. Tapi Nika senyum mengangguk ramah ketika bersirobok pandang dengan ibu tadi. Anak muda petugas kapal itu berkata dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah,” kata ibu itu...nona cantik sekali,” dan ia tertawa. Nika menga ngguk memberi senyuman.”Mauliate,” ucapnya . Ibu lainnya berkata pada temannya,” Bah, boru Batak do huroa, didok do mauliate tu sidoli-doli an,” Mereka mengira Nika gadis Batak, karena mengatakan mauliate tadi. Lalu ibu berpostur gendut itu bertanya pada Nika,” Boru aha do ho puang, anak boru nauli.” (Apa margamu, gadis cantik!). Nika geleng kepala masih mengumbar senyum, mengisyaratkan tak mengerti. “Maksud kami itu,kamu boru apa,” kata ibu gemuk itu beralih ke bahasa nasional. Nika mulai menangkap arti perkataan itu. Bibir indahnya yang setipis bibir Yuni Sara kembali menghadirkan senyum.”Saya dari Jakarta Bu, saya tak punya marga,” katanya.

“Booo, ai boru sileban do ibana hape,” cetus ibu gemuk itu tersenyum. Maksudnya, Nika bukan gadis Batak.

“Manis nai puang itoanan, aut olo ma tu ahu,” kata seorang anakmuda yang dari awal tak melepas pandang dari Nika. (Alangkah manisnya gadis itu, andaikan dia mau sama saya).

Nika bersikap tenang, membiasakan diri dengan tatapan-tatapan kagum itu.Suasana sibuk dan teriakan kru kapal yang masih mengangkut sisa barang penumpang, membaut suasana sedikit bising. “Hayo siapa lagi mau ke Tomok, segera naik kita mau berangkat.” Teriak kru kapal itu.Nika mengambil kamera digitalnya, membidik suasana sekitar. Suara keras orang di sekitar pelabuhan kecil itu masih riuh. Nika maklum, kalau orang di sini memang begitu. Membicarakan hal penting bersifat rahasia pun bisa diucapkan dengan nada keras, seperti Pak Rajagukguk seorangkolega ayahnya di Bandung.

Nika ingat Rajagukguk pernah berkata,” Jangan heran Pak Alex kalau mendengar kami kadang bicaranya keras-keras. Terkadang dikirain orang bertengkar ternyata bukan. Dan jangan pula heran, kalau satu saat melihat orang orang kami mengadakan pesta. Riuh dengan berteriak-teriak saat acara makan. Memang begitulah ciri khas kami yang tak akan mudah merobahnya. Sudah kebiasaan turun temurun.”

Tapi, bagi Nika tak selalu semua orang Batak bersuara keras. Di perusahaan ayahnya ada juga beberapa orang Batak penampilannya lembut seperti orang Sunda. Kata ayahna, mereka adalah orang Batak yang lahir di Jakarta. “Mungkin karena lahir di jakarta atau Bandung, pembawaan dan bicaranya pun terbiasa dengan lingkungan.”

Nika bisa menerima argumen itu. Tapi, seingatnya di kampus dulu, ada juga beberapa kenalannya mahasiswa dan dosen yang biarpun bukan lahir di luar daerah, bisa beradaptasi dengan lingkungan dengan cepat. Soal bicara keras atau lunak mungkin ada benarnya. Itu barangkali tipikal yang membedakannya dengan dari etnik lain. Keras pun, belum tentu hatinya juga keras. Apa lagi kalau komunikasi sudah lancar.

Nika menatap air danau yang bergelombang, berkejaran saat kapal kecil itu mulai bergerak, memusing sesaat, menuju Tomok yang tampak bayangannya di seberang sana.(Next)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline