Lihat ke Halaman Asli

Fatimah Hutabarat, Derita di Penjara Mengantarkannya ke Kursi DPR

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="" align="aligncenter" width="454" caption="Fatimah Hutabarat, Srikandi Reformasi (By.Leonardo)"][/caption]

Fatimah Hutabarat, bagi masyarakat Tapanuli Utara, adalah sosok wanita berstatus ibu yang luar biasa. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki integritas pribadi yang kokoh, berprinsip teguh, pedulipada lingkungan sosial, dan kritis menyikapi jalannya reformasi dan demokrasi, seraya tak gentar menghadapi konsekuensi dari keberaniannya melakukan sosial kontrol yang berlandaskan kebenaran. Karena ketegasan dan ketegarannya itu, Fatimah sudah mengalami bagaimana pahitnya mendekam dalam penjara.

Wanita berusia 59 tahun yang dikenal sebagai isteri Bernis Hutauruk pengusaha Hotel Hineni di Tarutung, mendeklarasikan organisasi AMPD (Aliansi Masyarakat Pro Demokrasi) di mana ia sendiri menjadi ketuanya.Dia siap berkorban untuk merealisasikan ide pembaruan yang bersemayam dalam hati sanubarinya. Para pendukungnya mengelu-elukannya tipikal “SRIKANDI TANO BATAK”, yang tidak menyesal memperjuangkan idenya meski harus menginap di prodeo. Ratusan bahkan ribuan pendukungnya tersebar di berbagai pelosok Tapanuli Utara setia mendukungnya, karena mengakui Fatima bergerak di atas rel kebenaran sejati.Pada saat pilkada Tapanuli Utara tahun 2008 silam, terjadi huru-hara oleh demonstrasi besar-besaran ribuan massa pro pilkada jujur di Kantor KPU Jalan SM Simanjuntak, Tarutung. Fatimah didakwa terlibat dalam aksi kerusuhan itu. Setelah melalui proses persidangan, akhirnya tokoh wanita yang berani ini harus pasrah menderita dalam tahanan setelah divonis hakim bersalah. Api reformasi dan kebenaran bersemayam dalam dadanya, dibawanya ke kamar tahanan.

Lika-liku perjuangan Fatimah tak selamanya berbuah pahit. Fatimah kemudian terjun langsung ke dunia politik, dengan bergabung ke Partai Nasdem besutan Surya Paloh. Fatimah menjadi ketua partai itu di kampung halamannya Tapanuli Utara, karena ia dianggap mampu dan teruji untuk membesarkan partai itu, setelah berkaca pada suksesnya memimpin AMPD. Sejumlah tokoh lokal dan anggota DPRD setempat, ikut menggabungkan diri dengan Nasdem. Partai ini dalam tempo tak terlalu lama, cepat berkibar mengundang simpati rakyat. Buktinya pada pemilihan legislatif 2014 yang lalu, lima kader Partai Nasdem berhasil duduk di DPRD Taput, dan sudah dilantik pada hari Senin 29 September bersama 30 anggota terpilih lainnya. Nasdem hanya memerlukan sedikit lagi suara (kurang dari 100) untuk berjaya mendominasi di DPRD Tapanuli Utara.

Berdasarkan keunggulan Partai Nasdem yang nyaris setara dengan perolehan suara Partai Golkar dan PDI Perjuangan, serta mengacu pada kalkulasi riil dan ketentuan yang berlaku, Fatimah Hutabarat pun melenggang menempati posisi pimpinan DPRD Taput sebagai wakil ketua , yang penetapannya mengikuti tahapan prosedur formal sebagaimana biasa.“Kami cukup puas dan merasa bangga walau Ibu Fatimah hanya bisa kami antar menjadi wakil ketua,” ujar para simpatisan Partai Nasdem, saat menghadiri syukuran pelantikan Fatimah, Senin sore (29/9) di komplek Hotel Hineni. Dari catatan sejarah legislatif di kabupaten ini, Fatimah Hutabarat merupakan wanita pertama yang duduk sebagai unsur pimpinan DPRD Tapanuli Utara. Selama ini pimpinan DPRD (ketua dan wakil) didominasi pria.

Sejujurnya, Fatimah mengakui ia masuk ke Nasdem karena yakin partai ini mengusung visi misi yang benar-benar murni untuk menghadirkan perubahan ke arah Indonesia Baru yang lebih baik.” Bapak Surya Paloh itu saya kenal sosok yang jujurdan peduli sangat padabangsa dan negara ini, dan itu bukan omongan doang. Beliau ingin membuktikan pengabdiannya secara total dengan mendirikan partai Nasdem .Itulah motivasi saya ikut bergabung ke Nasdem,” tutur perempuan yang juga aktif menjadi pengusaha properti itu, ketika ditemuireporter media sosial Kompasiana/Kompas.Com, Leonardo Simanjuntak,Selasa (30/9) di komplek Hotel Hineni yang dikelolanya sejak 2005.

Didampingi seorang saudara laki-lakinya, Sampe Hutabarat, dan staf khususnya Silaban, keluarbiasaan seorang Fatima terkesan dari gaya bicaranya yang supel dan bersahaja menjawab setiap pertanyaan wartawan. Fatimah yang mengenakan gaun biru yang serasi sore itu mengungkap berbagai pandangan atau pendapatnya seputar jalannya roda reformasi, demokrasi, secara khusus di Tapanuli Utara. Menurut pengamatannya, demokrasi itu belum berjalan dengan baik, masih butuh proses untuk terus menumbuhkembangkannya. Memilih calon anggota legislatif itu masih cenderung didominasi prinsip-prinsip primordial, seperti marga dan kaitan Dalihan Natolu. Belum karena penilaian secara sehat dan obyektif, belum pada motif simpatinya pada sosok seseorang, apa pantas atau tidak menyandang posisi terhormat wakil rakyat. “Ini juga menyangkut masalah SDM masyarakat kita yang masih terus harus dibenahi ke depan. Ada indikasi degradasi moral yang harus disikapi dengan cermat”, katanya.

Bagaimana potret Tapanuli Utara dulu dengan sekarang. Fatima berpendapat, ada memang kemajuan tapi masih belum sebagaimana diharapkan. Pembenahan di semua bidang, terutama infrasruktur jalan dan sarana pelayanan publik seperti rumah sakit, harus benar-benar ditingkatkan, terutama kualitas. “Ibu saya dulu adalah parrengge-rengge (pedagang keliling) ikan asin, dan saya sudah ikut merasakan parahnya jalan ke kecamatan-kecamatan. Rumah Sakit Tarutung hendaknya benar-benar tempat mengobati orang sakit, dengan pembenahan mental dokter dan perawat. Kenapa dulu rumah sakit itu citranya sangat bagus, karena dokter dan perawatnya di sana benar-benar melayani dengan hati, bukan dengan kesombongan.”

Fatima juga menyoroti kondisi Gedung DPRD Tapanuli Utara yang tak memenuhi syarat bagi 35 anggota dewan. Ruang kerja tak memadai, hanya tersedia buat komisi dan fraksi. Anggota DPRD lainnya kumpul di sana-sini seperti tak punya tempat berkantor. “Gedung itu semestinya diganti, bila perlu tak harus di Tarutung, bisa saja ke Pahae, Sipoholon, atau kemana yang cocok.”

Selain itu Fatima juga menganggap perlunya ada pakar khusus di DPRD dengan jenjang pendidikan S-2 atau S-3, dalam kerangka peningkatan kualitas kinerja dewan sekaligus mengawasi para anggota dewan.”Staf ahli atau pakar itu penting ada di DPRD. Setahu saya sudah lama di situ tak lagi ada pakar,” papar Fatima. Para anggota dewan juga perlu bekal pendidikan legislasi seperti yang diterapkan Partai Nasdem. “ Seperti kami di Nasdem, sudah mengikuti pendidikan legislasi agar nantinya bisa memahami aspek-aspek terkait program eksekutif dan legislatif dalam arti luas.”

Wanita pengusaha sukses yang ulet ini menyimpulkan, pada akhirnya pengawasan itu menjadi faktor krusial yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Pengawasan dalam arti menyeluruh, terutama pengawasan terhadap penggunaan anggaran. Dicontohkan misalnya ada dana Rp 3 miliar untuk perikanan atau peternakan di Pahae, apakah penggunaannya tepat sasaran atau ada kebocoran merugikan negara. Jadi, semuanya harus disikapi, jika memang dewan yang sekarang komit membuat perubahan yang terbaik.

“Terus terang dan sejujurnya saya katakan, saya itu masuk jadi anggota DPRD bukan mau cari uang. Usia saya sebentar lagi sudah 60 tahun, apa saya masih harus terus mencari uang, dan kapan lagi saya bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Itu komitmen saya, itu visi dan idealisme yang ada pada diri saya,” tegasnya pada bagian-bagian akhir perbincangan dengan Kompasiana.com. (Leonardo Simanjuntak)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline