Lihat ke Halaman Asli

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (18)

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141274784886898308

Novel Leonardo JT (18)

[caption id="attachment_364907" align="aligncenter" width="300" caption="Ill: novel leonardo(flickr)"][/caption]

Riko tak terlalu mengundang perhatian saat menggandeng turis wanita. Banyak orang tahu kalau Riko sering dimintai manager hotel memandu turis asing. Tapi, karena Riko biasanya lebih sering menemani turis asing, kemunculan Riko pagi ini mengundang banyak tatapan mata orang-orang sepanjang jalan Tuktuk.

“Ahoi, sedaaap...”, tegur tiga pria di depan sebuah toko rental sepeda, sambil batuk berisi.

“ Bah, boru aha nasida, lae,” (Bah, boru apa dia, ipar), sapa yang lainnya di depan restoran Marroan.

“Ido calon inang bao niba i lae?” kata yang lainnya.(Inikah calon besan saya itu ipar?).

Lalu dua anak gadis menongolkan wajah dari jendela sebuah rumah. Mereka segera ketawa ditahan ketika mengenali Riko.” Sepadan benar mereka jalan ya Lis, yang cowok ganteng dan yang cewek seperti Luna Maya. Wah, harmonis, ah,” kata salah satunya. Yang disebut Lis hanya mengangguk pelan, menatap Riko dan Nika menghilang di tikungan jalan. Lilis salah satu gadis yang cinta terpendam pada Riko, tapi Riko tak tahu kalau gadis ini menaruh cinta diam-diam pada dirinya. Bagi Riko semua cewek di pulau Samosir ini baik-baik, dan dianggapnya ito (saudara perempuannya).

“Orang apa gadis itu ya Lis,” tanya temannya yang di jendela.

“Tauuk ah, gadis apa kek perlu amat,” balas Lilis dengan wajah merajuk. Temannya pun ketawa. “Naah selalu ketauan ada udang di balik batu. Cemburu ni yaaaa...”. Lilis agak marah, dijewernya kuping temannya. Dalam hatinya, Lilis jengkel juga melihat Riko mengganden gadis cantik.

Pengalaman Riko membantu turis lelaki atau pun perempuan sudah lumayan, sejak di Brastagi dan di Parapat. Pengetahuan umumnya lumayan, begitu juga bahasa Inggeris. Riko bisa menyampaikan informasi memadai tentang Danau Toba, Parapat, Tomok, Tuktuk, atau tentang hikayat Batu Gantung di Parapat, tentang kursi batu di Huta Siallagan, tentang Pulau Tao, Pulau Sibandang di Muara, dan macam-macam informasi tentang Tanah Batak.

Satu ketika Riko dimintai menjadi guide dua cewek berkebangsaan Italia. Riko jadi bulan-bulanan kedua gadis yang garangnya bukan main. Untung Riko bukan tipe pemuda yang mudah grogi. Tingkah kedua cewek itu bisa diatasinya dengan cara tersendiri. Dia juga ditawari ikut ke Venesia, kota air paling historis dan menawan di Italia. Pasalnya setelah Riko membuat kedua gadis itu tergila-gila mendengar permainan gitar dan suaranya menyanyi di sebuah bar.

Malam itu Riko sedang menyanyikan sejumlah lagu barat legendaris, dibacking pemain keyboard. Mulai lagu nostagia dari John Lennon, hingga Beeges. Kedua gadis Italia itu hadir di sana. Mereka terpelongo cara Riko menyanyi sambil memainkan melodi gitar. Terdengar pas di ruang telinga.Kemudian melalui bar tender, gadis Italia bernama Silvana itu me-request lagu-lagu The Cats.Permintaan itu dipenuhi Riko setelah melalui mik mohon maaf kalau lyrik lagunhya kurang pas dengan aslinya. Para pengunjung bar yan g mulai penuh bertepuk tangan mengaplaus. Suara lembut Riko yang maskulin mengalunmeromantisir ruangan yang sedikit remang-remang itu. Tepuk tangan turis bule berkecipak-kecipak dari semua sudut, minta “more, more...”

Riko telah menyanyikan beberapa lagu Cats paling populer pada masa jayanya. Mulai dari Scarlet Ribbons, One way wind, Why, Marian, hingga Vaya Condios. Kedua gadis Italia yang gaul itu spontan maju ke panggung mini menyawer Riko dengan lembaran uang lira. Seorang pria gendut bertopi sombrero Amerika Latin juga menyawer dengan selembar US Dollar bernilai 100. “Very good, very good, I like it,” kata pria bertopi sambil menepuk-nepuk lengan Riko.

Itu awalnya Riko menjadi guide turis Italia itu. Tapi diajak ke Venesia itu tak jadi, karena Riko harus ke Tarutung melihat namborunya yang meninggal dunia. Saudara perempuan ayahnya itu jauh lebih berharga untuk dilihatnya detik terakhir, ketimbang pergi ke negeri jauh yang tak jelas entah apa yang mau dikejar di sana.

Riko juga pernah memandu seorang perempuandari Manado memintanya menemani keliling Samosir. Perempuan muda itu sudah janda, sangat enjoy berdampingan dengan pemuda setampan Riko. Ketika saatnya mau pulang, perempuan itu baru cerita bahwa ia menjanda karena suaminya kawin lagi dengan wanita Malaysia di Penang. Janda itu mengaku pengusaha kaya, ia terus terang menyatakan suka kalau Riko mau jadi suaminya. Tapi Riko mengelak dengan alasan sudah punya tunangan di kampung. Ketika hal itu diceritakan Riko pada teman-temannya, ia diketawai sebagai cowok terbodoh sedunia.”Makanlah angin Samosir ini Rik, kamu sia-siakan kesempatan emas meraih yang terbaik untuk masa depan,” sergah Poltak mengumpatnya.

Janda cantik itu memuji Riko pada manager hotel ketika check-out.”Lelaki sebaik itu sulit ditemukan di zaman hura-hura sekarang ini,Pak. Sayang sekali dia sedingin salju Himalaya,” katanya. Manager hotel itu hanya tersenyum,geleng kepala.

Jalan aspal di Tuktuk banyak yang rusak, meski belum parah. Sambil mengayun langkah, Nika berkata pada Riko,” Di sana-sini banyak jalan rusak sepertinya kurang perawatan. Sayang sekali tempat seindah ini tak dibenahi pemerintah.”

Riko memperhatikan salah satu sisi jalan rusak yang ditunjuk gadis itu.” Yah, sebenarnya diperbaiki juga non, hanya saja sekarang sudah rusak.”

Keduanya menyusuri jalan arah Ambarita. Sejumlah turis bule naik sepeda melintasi jalan yang lebarnya terbatas. Ada juga turis lainnya yang berjalan kaki, santai dengan tampilan masing-masing. Nika menunjuk salah satu resto di pinggir jalan.” Kita istirahat di situ sambil sarapan, gimana.”

Riko mengangkat bahu.” Terserah nona aja.”

Nika mengangkat kacamata hitamnya ke kening. Tampak bening sinar matanya menatap Riko. Dan Riko juga menatap. Mereka bertatapan sesaat, lalu Nika berkata lagi,”Jangan terlalu segan padaku bang Rik, kalau boleh aku minta jangan terlalu kaku kali dengan panggil aku nona, gimana...”

Riko menggaruk rambutnya yang tidak gatal.”Lalu, harus panggil apa nona, kan tidak etis kalau panggil nama nona...”

Nika tertawa kecil seraya melangkah ke arah restoran.”Panggil namaku aja kenapa. Aku kan belum terlalu tua kalau namaku dipanggil apa adanya. Untuk itulah kurasa setiap orang dibuatkan namanya oleh orang tua.”

“Tapi...”, Riko tersendat meneruskan kata-katanya, ketika Nika memotong sambil menebar senyum manisnya.”Naaa, ada tapinya lagi, kan nampak kali abang canggung bersamaku.”, Nika mengeluarkan jurus humornya yang jarang dikeluarkan.

Riko merasa dikalahkan baru pertemuan kedua kali. “Agresif juga gadis yang satu ini,” bisik Riko dalam hati, lalu mengikuti Nika memasuki restoran. Dari belakang, Riko melihat bokong yang padat indah dibalut jins ketat itu seakan melambai-lambai . Riko sudah biasa menyaksikan tampilan gadis seksi, tapi yang ini di matanya sungguh eksklusif. Riko mengalihkan pandangannya menghalau pikiran aneh datang menyusup.

Jelang makanan yang dipesan datang, Nika berkata,” Jangan salah paham bang kalau kubilang aku lebih suka namaku atau apalah dipanggil, soalnya aku kurang suka aja disanjung dengan sebutan yang terlalu inlander. Abang tau kan inlander, kata papaku sifat-sifat Belanda dulu, ditanamkan pada rakyat pribumi supaya orang-orang punya jabatan dan status sosial yang lebih tinggi dihormati dengan panggilan-panggilan khusus. Yaa, yang tuan lah, yang nyonyalah, yang nona lah, yang om lah, macam-macam...he-he-he, aku tak suka aja begitu. Maaf kalau aku terlalu open ngomongnya, bukan apa-apa kok...”

Riko berpikir, ia tak boleh terlalu didikte gadis cantik ini. Sebisa mungkin sepanjang tidak menyalahi etika kesantunan, ia harus bisa mengikuti irama yang dibawakan gadis ini.” Ok deh, mulai kapan aku harus menghilangkan panggilan nona...”

“Mulai sekarang, mulai detik ini apa salahnya.” Nika cepat menjawab. Lesung pipitnya di sebelah kiri bermain setiap tersenyum.

“Kalau aku panggil adik aja, gimana nona...” Riko merasa di skak.

“Naaah ini lagi, baru beberapa detik sudah inlander lagi...ha-ha-ha,polosnya abang gak ketulungan tuh.” Nika tertawa, membuka kaca matanya dan meletakkan di meja.

“Sorry dik, sorry, yah mulai sekarang aku panggil adik...”

“Dik Nika aja, itu nama panggilanku. Maksud aku , tak lebih supaya komunikatif aja, gak ada kecanggungan. Dengan begitu aku merasa lebih plong abang temani berwisata di daerah ini. Kalau sampai antara kita aja ada jarak terlalu jauh, gimana mungkin komunikasi lancar dan nyaman...”

Riko mengangguk-angguk. Sekali lagi hati kecilnya berkata,” Agresif sekali, tapi bukan berarti ekspresi arogan atau ciri kaum elit.”

Nika pesan nasi goreng, dengan teh manis panas. Riko juga minta yang sama. Hal itu membuat Nika kembali mengusik,” Yang penting bang Riko memang suka nasi goreng dan teh manis, jangan karena ngikut seleraku aja.”

Riko merasa di skak lagi ke sekian kalinya. “Wah, bisa gawat aku kalau terus pakai sifat polos, terlalu bersikap segan . Tapi bagaimana yah sudah sifat bawaan begitu, terlalu kalem, santun, akhirnya jadi canggung.” Hati kecilnya lagi-lagi berbisik menyalahkan dirinya.

“Aku senang dengan sifat no...eh, dik Nika, terus terang makanya terang terus,” Riko tiba-tiba terbawa sedikit humor ringan. Nika mengangkat wajahnya dan sesaat terhenti mengunyah nasi goreng, menatap wajah Riko.

Nika pun tertawa,mengambik kertas tisu melap tepi bibirnya.” Kalau tak salah itu motonya lampu Philip ya...terus terang terang terus, ha-ha-ha, bisa aja...”

Di mata gadis itu Riko seperti menelusuri lingkaran misteri. Apakah memang sifat gadis ini begitu, ataukah hanya sekadar berkompensasi? Tapi kompensasi karena apa. Riko mencoba men ebak, tapi tak menemukan sesuatu yang membantu menemukan simpul.

Obrolan di resto itu mengalir lancar. Keakraban itu tampaknya cepat dibangun dengan sikap Nika yang makin terbuka. Riko menyadari, kalau gadis di hadapannya adalah tipe gadis yang enak diajak cerita. Belum begitu lama bertemu, rasanya seperti sudah satu bulan dalam kebersamaan.

Tuntas sarapan, Nika bertanya:” Abang tak merokok? Merokok dong, kalau memang biasanya merokok.”

Jujur, Riko merasa disodok lagi. Tadinya memang mau merokok, tapi ditahankannya. Segan kalau gadis itu tak suka melihat pria merokok. Kebanyakan orang elit begitu. Dulu juga Riko harus tahan puasa tak merokok karena turis Singapura yang dipandunya tegas melarangnya merokok. Tapi gadis ini tembak langsung isi hatinya. Bukan main!

“Aku memang merokok tapi tak sampai pecandu berat. Tadinya mau merokok tapi kuhargai siapa tau nona, eh adik tak senang lihat aku merokok,” Riko mengaku tahan seleranya merokok.

Nika tertawa kecil.” Ah siapa yang larang abang merokok. Kalau itu kesenangan seseorang, gak etis juga kalau kita larang, kan.”

Riko merogo kantong jeketnya.Diambilnya rokok sebatang, lalu berkata,” Dari dulu aku mau berhenti merokok belum juga bisa. Terima kasih atas perkenannya membolehkan merokok.”

“Tapi sambil merokok, perlu juga dipikirkan untung ruginya. Papaku juga mantan perokok berat sedunia, tapi sekarang sudah berhenti., setelah terkena penyakit jantung.”

“Mudah-mudahan aku belum begitu dik, aku masih segar bugar,” kata Riko mengembuskan asap rokoknya ke atas membentuk lingkaran kecil.

Nika beranjak dari duduknya.” Sebentar ya bang, aku ke toilet.” Nika melangkah melewati meja di sudut resto, belok ke kiri memgikuti tulisan “Toilet” yang ada di dinding.

Pemilik resto seorang pria ubanan mendekati Riko, :” Hallo Rik, teman gadismu cantiknya bukan main. Teringat dulu waktu artis-artis Jakarta datang kemari, masih jauh lebih istimewa yang ini. Dia turis atau calonmu.”

Riko tersenyum, meneguk air putih sebelum menjawab,” Dia dari Jakarta pak, aku juga baru hari ini bersama dia.” Lalu pria itu mengangkat jempolnya.”Pokoknya beruntung kamu bisa dampingi gadis begitu istimewanya. Good Luck, Riko...”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline