Lihat ke Halaman Asli

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (49)

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pukul 11 jelang midnight, mereka kembali ke hotel. Capek juga tapi rasa enjoy menaklukkannya. Lebih satu jam keliling kota jalan kaki, satu jam duduk di tanggul sungai, yang diobrolkan cukup banyak. Bahkan tentang pribadi Riko yang sebatangkara, tentang kisah cintanya dengan Riris yang mennggalkan kenangan pahit, dan tentang rumah dan tanah warisan orangtua Riko di Desa bernama Huta Pardamean.
Dibalik rasa kagumnya, Nika prihatin. Ternyata pemuda tampan yang punya talenta cemerlang itu, menyimpan banyak kisah duka. "Kalau bang Riko tak keberatan, aku juga pengen jalan-jalan ke kampungmu,boleh tidak?"
Riko tertegun sesaat. "Ah, kampungku tak ada yang menarik untuk dilihat Nik, dusun terpencil di lereng gunung, lagian belum bisa masuk kenderaan apapun," kata Riko membayangkan kampung yang kumuh dan medannya sulit. Untuk apa gadis secantik dan sehalus ini dibawa ke dusun sepi mencekam.
"Aku justru tertarik Bang, aku paling suka masuk ke kampung-kampung yang jauh dari kota. Memangnya kampungmu jauh Rik?" Nika mencetuskan niatnya.
Inilah nilai plus Nika yang membuat Riko tak habis pikir. Aneh,unik, atau memang motif kejenuhan dengan hidup berkecukupan di metropolitan, atau memang kepribadian yang idealistik terhadap nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Riko masih mencoba menampik dengan halus."Soalnya aku tak tega menggiring dik Nika jadi susah, di kampung kami tak ada apa-apa, di sana semua penghuninya orang miskin. Apa kamu tak menyesal nanti kubawa ke sana."
Nika mencemberutkan bibir, membuatnya seperti gadis tingting lagi merajuk, tapi membuatnya menarik di mata Riko. "Kalau kampungmu kuno,kolot, atau miskin, apa itu harus menghalangi orang lain untuk berkunjung? Yah terserah, kalau bang Riko tak sudi,yah biarlah." Nika benar-benar merajuk, tak senang.
Riko yang jadi sedikit gelagapan." Bukan, bukan aku tak mau membawa kamu ke sana Nik...tapi..." Riko seperti kehilangan kata. Lalu dilihatnya Nika tersenyum, berkata " Jadi, kapan kita ke sana Rik, besok? Bukan apa-apa Rik, kamu lihat waktu kita di Tuktuk kan, tidur di dusun di rumah ibu Tiarma juga sudah, makan di kampung juga sudah, jalan-jalan ke kampung yang tanahnya becek juga sudah. Aku hanya pengen aja jalan-jalan, bukan cuma di kota. Aku bosan dengan tetek bengek kota."
"Oke Nik, besok juga boleh, mudah-mudahan cuaca baik agar jalan tidak licin." Kata Riko akhirnya.
"Berapa jauh lagi kalau jalan kaki Rik," tanya Nika.Wajahnya ceria.
"Kita masih bisa titip mobil di desa pertama nanti, dari sana jalan kaki kira-kira satu kilometer. Parahnya saat musim hujan sekarang ini, jalannya becek apalagi sempit hanya jalan tikus. Banyak rumput ilalang nanti kita lewati. Itu yang kupikirkan Nik, makanya agak berat membawamu ke sana."
" Nggak apa-apa Rik, hanya satu kilo dekat kok. Asal jangan malam, aku rasa tak apa-apa kok Rik."
"Oke Nik, besok pagi kita ke sana, sekarang istirahat dulu, tidur yang nyenyak biar fit."
Nika membuka pintu kamarnya, sesaat menatap Riko yang juga pergi ke kamar sebelah."Good night Rik, malam baik buatmu ya."
"Buat kita berdua," balas Riko mengangguk.
Tapi di ranjang yang lumayan lebar di kamar itu, Nika sulit memejamkan mata. Banyak hal yang mengusik pikirannya membuatnya agak resah. Bayangan rumah mewah di Jakarta, wajah papa yang sakit-sakitan, wajah ibu yang suka terlalu disiplin, lalu para pembantu yang baik hati, lalu soal Gito sang tunangan yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Tidak, tak boleh dipikirkan terlalu mendalam, pikirkan yang lain saja yang membuat hatimu senang. Bisikan hati kecilnya memberinya semangat baru. Tapi memikirkan apa yang bikin senang?
Memikirkan Riko saja deh. Nika telentang tanpa selimut dengan baju tidurnya yang tipis, dengan liris bola-bola itu, menatap plafon langitan kamar putih bersih. Bibirnya menyungging senyum, saat wajah Riko terlukis di depan mata.
Semuanya hadir dalam bayang-bayang itu sekarang. Awal perkenalan dengan Riko, rasa senang ada pemuda yang sebaik dan sejujur dia, rasa kagum pada permainan gitar dan suaranya yang bagus saat menyanyi, penguasaannya pada banyak lagu, pengetahuannya yang luas tentang banyak hal, adat budaya, ciri khas daerah, dan terutama kepolosannya. Alangkah sulitnya menemukan lelaki seperti dia, bisik Nika sambil memejamkan mata. Sayang sekali orang seperti dia harus sia-sia hidup tak menentu, seharusnya potensi seperti itu ada di Jakarta.
Kenapa aku jadi tertarik, atau jangan-jangan suka pada dia. Atau, jangan-jangan rasa suka itu bisa menjadi rasa sayang atau... Nika senyum sendiri menepis perasaan aneh-aneh yang merayap di relung hati. " Ah, kamu ada-ada saja Nika,"omel hatinya yang lain. Tapi bisikan hati yang lain kadang datang menggoda, membuat Nika terpana oleh pikirannya sendiri.
"Cinta bisa hadir di mana saja, pada siapa saja, karena cinta juga bijak menilai dan memilih kemana dia akan hinggap seperti burung terbang di angkasa, hinggap di salah satu pohon dimana dia menyukai dan senang berada di situ. Cinta pada seorang gadis berbeda dengan cinta pada seorang pria,Nikana. Cinta dalam diri seorang perempuan lebih dipengaruhi penilaian tentang perilaku dan kejujuran seorang lelaki, sedangkan cinta yang hadir pada diri seorang lelaki lebih sering berbaur rasa suka pada kecantikan lahiriah dan dorongan birahi berlatar kesepadanan badaniah."
Nika ingat kalimat yang pernah dibacanya pada sebuah novel Ernest Hemingway yang dipinjamkan seorang teman saat kuliah dulu.
Jatuh cinta? Apa bedanya ketika dulu ada rasa suka pada Gito lalu setuju dipertunangkan orang tua. Tapi dulu ada faktor ketika papa dan mamu ikut berperan mendorong, atas penilaian bahwa Gito itu pria gentle, baik hati, dan dari keluarga terhormat. Kamu ingat Nikana, waktu itu orang tua Gito sendiri yng datang bersama anaknya ke rumahmu, memperkenalkan Gito padamu dan pada papa mamamu. Kamu senyum tersipu malu saat itu, lalu menghilang. ke kamarmu. Lalu mamamu datang menemuimu ke kamar, berkata dengan sangat lembutnya," Dialah calon suamimu yang membawamu ke masa depan bertatahkan berlian, selain kaya raya, ganteng lagi, sopan, dan keluarganya begitu hormat pada kita."
Waktu itu kamu tak bilang apa-apa Nika, tapi kamu juga tak membantah apa-apa pun. Kamu seperti tergiring pasrah pada kearifan orang tua, bahwa apa yang dinilai dan dinyatakan mereka selalu benar.
Nika gelisah hingga matanya melihat jam dinding; sudah pukul 01. lewat tengah malam.  Sambil memeluk guling, Nika berkata sendiri dalam hati: Tapi mungkinkah ini? Mungkinkah hatiku telah tercuri oleh seorang Riko yang bukan apa-apa dibanding Gito? Mungkinkah tanpa sadar aku senang bersamanya berarti ada benih cinta yang sedang tumbuh? Ah... Tak mungkin. Nika sendiri membantahnya. Sedangkan Riko dengan kepolosannya tampaknya tak mencerminkan sesuatu perasaan tersemmbunyi yang lebih dari sekadar pertemanan yang kebetulan. Di mata pemuda macho itu semuanya biasa-biasa saja, ataukah itu mustahil terdeteksi walau dengan insting sekalipun? Atau Riko lebih disadarkan posisi atau status, dan mampu bersembunyi di balik getar hati yang sesungguhnya.
Nika teringat saat di Pantai Silintong kemarin. Saat Riko dengan perasaan menyanyikan lagu Rinto Harahap yang juga disukainya. Lyrik lagu itu sungguh membuai bagi orang yang merenungkan cinta yang kadang bagai misteri.
"Mengapa kita harus berjumpa, manalah pernah aku tau, mengapa kita saling jatuh cinta mana kutahu...Dulu tak pernah ada cerita tentang dirimu,di hatikuu, tapi sekarang setiap malam hanya wajahmu... kalaulah bantal dapat bercerita aku malu, aku tak tidur walau terpejam,mata ini.... rasa cinta yang kurasakan bukan sekedar saja, rasa cinta yang kurasa dari kaki hingga mata, aku tak ingin permata, apalah arti istana, jangan kita berpisah, yang lebih dari segala-galanya..."
Lagu yang indah, meresap ke lubuk hati setiap orang yang mendengar di Kafe Pantai Silintong sore itu.
Nika terseret ilusi berkepanjangan, dan ia tak mampu mengenyahkannya, sampai kemudian tak tahu tertidur sudah dini hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline