Lihat ke Halaman Asli

Gedung Pencakar Langit

Diperbarui: 9 Desember 2017   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Kata orang, bahasa adalah cerminan jiwa bangsa. Dulu, ketika manusia masih hidup dalam kesederhanaan (belum ada teknologi internet), manusia sudah melakukan eksperimen bahasa secara gila-gilaan. Bahkan Tuhan pun sampai tak suka dengan eksperimen bahasa itu. Tentu kita masih ingat dengan kisah Menara Babel dalam Kitab Perjanjian Lama. Diceritakan dalam Kitab itu bahwa manusia dulu ingin membangun sebuah menara setinggi langit. Yang entah bagaimana, banyak para ahli menduga bahwa---manusia pada saat itu ingin mempersatukan bahasa ke dalam satu bentuk yang paling universal.

 Menara itu pun diruntuhkan dan bahasa manusia tercerai-berai satu sama lain sehingga tak bisa saling dimengerti satu sama lain. Manusia ingin huruf-huruf digunakan untuk menopang langit ternyata. Tuhan tak suka huruf-huruf digunakan untuk menopang langit. Alangkah lebih pemberaninya manusia jika bahasa dibuat untuk menopang bumi. Saya bersyukur menjadi salah satu orang yang menjual Tetralogi Pulau Buru. Ya, walaupun kepada saudara sendiri dijualnya. Tetralogi Pulau Buru menunjukkan roh adiluhung yang keterlaluan tingginya.

 Tak relevan lagi untuk masa saat ini bahkan mungkin di masa-masa yang akan datang. Paling sederhananya kita bisa melihat bahasa yang membumi itu dalam kisah-kisah kontemporer. Banyak penulis zaman sekarang yang sudah menjauhi sindrom Menara Babel itu. Di luar negeri, ada Wislawa Szymborska dan Charles Bukowski. Kalau untuk yang di dalam negeri tidak usah disebutkan contohnya, nanti dia marah dan ngedumel deh. Oh ya, Szymborska pernah menulis puisi tentang Menara Babel yang ditulisnya dengan judul yang sama. 

Dia masih bisa menulis dengan ringan. "Jam berapa sekarang?" tulisnya dalam puisi "Menara Babel" itu. Seakan-akan Szymborska ingin meledek dan mencaci orang-orang yang gila tentang hakikat waktu. Kamu pasti tahu dong tentang kisah penulis abal-abal yang berserakan dimana-mana dan banyak dari mereka yang menulis tentang hakikat waktu. Mulai dari paradigma Newton ke Einstein sampai Hawking. Seperti kisah orang yang tergila-gila tentang hakikat waktu, bahasa sastra tinggi adalah musuh (mungkin saja sebagian dari mereka adalah musuh Tuhan ternyata). 

Parabel Menara Babel menegaskan keberagaman bahasa sekaligus yang membumi. Sikap-sikap universalisme pada suatu masa akan tampak seperti angsa hitam---simbol kematian itu sendiri---dimana manusia sudah berusaha menjadi hantu yang bukan kodratnya. Hantu karena manusia seharusnya dikutuk menjadi plural sekaligus membumi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline