Sumber foto: gamat.org
Selamat Sore Kompasianer,
Sebelumnya saya ingin mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya terhadap para korban tragedi Thamrin kemarin. #KamiTidakTakut terhadap #TerrorDiJakarta
Sebagai seorang yang menikmati sastra, saya ingin melihat peristiwa teror yang terjadi di Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016 yang lalu dari sudut pandang dunia literasi. Entah kenapa ketika beberapa jam setelah peristiwa teror itu berlangsung saya langsung teringat dengan salah satu penulis novel Turki yaitu Orhan Pamuk. Orhan Pamuk pada tahun 2006 yang lalu dianugerahi oleh Royal Sweden Academy Hadiah Nobel Sastra karena dianggap sebagai salah satu penulis kontemporer yang bisa melihat sudut pandang kegelisahan manusia yang mengalami perbenturan peradaban. Akademi Swedia memberikan pilihan kepada Pamuk sebagai penerima Nobel Sastra 2006 karena "who in the quest for the melancholic soul of his native city has discovered new symbols for the clash and interlacing of cultures."
Novel-novel Orhan Pamuk seperti My Name is Red dan Snow memiliki nuansa Islam yang sangat kental karena mengambil setting di negara Pamuk sendiri yaitu Turki. Dalam My Name is Red yang pertama kali terbit di Turki pada tahun 1998 misalnya, Pamuk dengan sangat brilian mendesain sebuah novel berbasis sejarah Kekaisaran Ottoman dengan sangat "teknikal". Cerita mengenai Sultan Ustmaniyah Murat III yang terobsesi dengan seni buku dan miniaturis. Pada masa kekuasannya Sultan Ustmaniyah Murat III memberikan perintah kepada para miniaturis untuk membuat berbagai macam Kitab seperti Kitab Keterampilan, Kitab Kemenangan dan lain-lain. Yang membuatnya sangat menarik buku-buku miniatur di masa Kekaisaran Ottoman memiliki nilai seni yang tinggi karena seni lukisnya yang luar biasa di bagian halaman awal buku. Bagi pembaca yang tidak terlalu suka dengan karya sastra yang berat mungkin tidak akan terlalu suka dengan karya ini. Tapi saya sendiri sangat mengagumi teknik narasi Pamuk yang brilian. Butuh kesabaran keras untuk membaca novel Pamuk karena walaupun novel My Name is Red tebalnya sekitar 700 halaman (terjemahannya) namun terasa seperti membaca novel yang memiliki lebih dari 1000 halaman. Novel ini diceritakan dengan narator yang berpindah-pindah, bukan hanya satu narator seperti kebanyakan novel yang bersudut atau berdimensi tunggal. Setelah diterjemahkan oleh salah satu profesor di bidang kebudayaan Timur Tengah di Amerika Serikat yang bernama Erdan Goknar. Novel My Name is Red ini mendapatkan berbagai macam penghargaan di dunia internasional seperti IMPAC Dublin Literary Award pada tahun 2003. Pamuk kemudian muncul sebagai superstar baru dalam dunia sastra kontemporer.
Tidak berhenti disitu, setelah sukses dengan My Name is Red, Pamuk kemudian berani mengambil sebuah tema yang masih jarang digarap dalam dunia sastra internasional. Novel Pamuk setelah My Name is Red adalah Snow. Snow pertama kali terbit pada tahun 2002 di Turki. Bedanya dengan My Name is Red, Snow gaya penulisannya lebih ringan. Novel Snow ini menceritakan kegelisahan seorang penulis puisi yang bernama Ka yang harus kembali pulang ke negara asalnya Turki. Sekembalinya ke Turki ia mendapatkan tugas untuk menjadi seorang jurnalis untuk menginvestigasi kasus-kasus bunuh diri yang terjadi pada gadis-gadis berjilbab di Kota Kars. Kota Kars pada waktu itu diselimuti salju tebal dan terjadi kejadian yang menggemparkan kota tersebut dimana Madrasah Aliyah di kota tersebut diindikasi oleh polisi sedang menebarkan ajaran-ajaran ekstrim terhadap pemuda-pemudi. Polisi akhirnya memberlakukan jam malam di kota tersebut. Ka juga sempat bertemu dengan tokoh-tokoh Islam setempat yang sedang berada dalam persembunyian. Disana jugalah Ka sedang merajut kisah cintanya dengan seorang wanita bernama Ipek.
Kasus bunuh diri gadis-gadis berjilbab yang terjadi di Kota Kars tersebut digambarkan oleh Pamuk sebagai sebuah tindakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Turki yang ingin “membaratkan” Turki. Seperti yang kita ketahui (di kejadian nyatanya) Pemeritahan Turki di bawah Kemal Ataturk ingin membuat Turki memiliki landasan seperti negara-negara Eropa. Ada anggapan dari pemerintahan Kemal Ataturk bahwa dengan jalan “membaratkan” Turki akan membuat Turki menjadi sebuah negara yang progresif. Pamuk dalam novel ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa kebijakan tersebut bisa berakibat menjadi bumerang bagi pondasi-pondasi kebudayaan Turki secara umum. Bukan progresivitas yang diinginkan menjadi kenyataan justru kekacauan identitas suatu bangsa yang malah dipertanyakan. Pamuk dengan cerdas memberikan makna-makna sosiologis yang tersirat dalam berbagai novelnya ini termasuk dalam Snow.
Kembali ke tragedi Thamrin yang terjadi kemarin. Kalau kita melihat dari sudut pandang kemanusiaan hal tersebut tentu saja merupakan perbuatan yang biadab. Namun ada satu hal yang saya yakini sekali bahwa manusia tidak hanya dikendalikan oleh kehendak dan fikirannya sendiri. Tetapi lebih jauh daripada itu mereka dikendalikan oleh budaya yang bersifat makrosistemik. Pamuk melukiskan tokoh-tokoh dalam novelnya yang berjudul Snow sebagai orang-orang yang mulai teralienasi dari tanah airnya sendiri karena desakan makrosistemik yang ingin “membaratkan” Turki. Akibat dari teralienasinya mereka dari lingkungan, pemberontakan dianggap sebagai jalan keluarnya. Kondisi psikologis manusia yang merasa bahwa dirinya tidak diterima lagi dalam lingkungannya akan membuat dirinya menjadi tidak sehat secara rohani dan kejiwaan. Labil dalam emosi. Tidak terukur dalam bertindak.
Belum lama ini salah satu professor psikologi Harvard University yaitu Steven Pinker menyatakan bahwa dalam beberapa tahun kedepan dunia akan menjadi lebih damai dari sebelumnya. Entah kenapa saya tidak terlalu percaya dengan hal tersebut. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Realitas dunia tidak pernah bersahabat dengan idealisme dan universalisme. Thomas Hobbes dulu pernah mengatakan bahwa kehidupan manusia itu pada dasarnya nasty, brutish and short. Apalagi jika berkaca apa yang terjadi di beberapa negara seperti Indonesia, Perancis, Suriah, Amerika Serikat, Nigeria dan lain-lain.
Saya sangat berharap bahwa Badan Intelejen Negara turut memperhatikan aspek-aspek sosiologis dalam masalah ini. Kita bisa merefleksikan diri kita kembali. Apakah jalan yang ditempuh oleh kita dengan terlalu mengagungkan kebudayaan barat bisa menjadi solusi terhadap progresivitas yang ingin kita tuju.
Sumber gambar: ramaprabu.org