Lihat ke Halaman Asli

Kajian Cerpen “Mugiyono” Karya Gunawan Maryanto

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

DALAM KORAN KOMPAS TANGGAL 18 OKTOBER 2009

Cerpen berjudul “Mugiyono” karya Gunawan Maryanto ini berkisah tentang Mugiyono (biasa dipanggil Enek) seorang anak yang terbelakang mental. Karena keadaannya yang demikian, Enek sering menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya.

Suatu hari, Enek bersama teman-temannya terinspirasi untuk membuat sebuah kelompok teater. Dalam setiap pementasan Enek selalu mendapatkan peran yang paling sial di antara yang lain, menjadi seorang raksasa bodoh yang langsung terbunuh pada awal pertunjukan ataupun seorang pengawal yang hanya diam saja sampai akhir pertunjukkan.

“Dan ia selalu kebagian jatah menjadi raksasa atau perampok yang dungu dan gampang kami kalahkan. Tapi ia sangat menyenangi perannya. Kedua orangtuanya juga sangat bahagia melihat Enek tampil di atas panggung….”

“…Enek menjadi seorang pengawal raja. Berdiri diam memegang tombak di belakang sang Raja sepanjang pertunjukan.”

Walau diperlakukan demikian, Enek tidak pernah memprotes teman-temannya, ia selalu menerima perlakuan buruk temannya dengan sabar. Enek selalu menjadi korban yang menderita pada setiap pertunjukkan, tidak hanya di atas panggung, tapi juga dalam kehidupannya. Tindakan-tindakan diskriminatif semacam ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya pada orang-orang yang menderita keterbelakangan mental seperti tokoh Enek dalam cerpen tersebut. Sosok-sosok seperti Enek selalu dibunuh dengan keegoisan dan sikap “sok hebat” dari orang-orang normal yang selalu memperlakukan sosok seperti Enek sebagai “badut”.

“Enek adalah dewa penolong kami. Tapi juga badut yang kerap jadi bahan olokan kami. Entah kenapa kami suka menggodanya. Mungkin karena diam-diam kami merasa lebih pintar. Atau karena ia terlalu gampang kami bodohi.”

Enek adalah sosok “adik” yang setia. Meski ia diperlakukan sangat buruk oleh teman-temannya (yang menganggap dirinya sebagai “kakak” atau pembimbing bagi Enek), namun ia tetap dengan setia berbuat baik dan tidak menghiraukan perlakuan orang lain terhadap dirinya. Enek bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal buruk apapun dalam hidupnya. Walau pada akhirnya ia akan di tinggalkan dan “mati” dalam keegoisan teman-temannya. Sikap Enek yang demikian dibandingkan oleh Gunawan Maryanto dengan cerita tentang Sukrasana dan Sumantri dalam kisah pewayangan, kisah tentang sang adik “Sukrasana” yang selalu setia dan mambantu kakaknya “Sumantri” walaupun selalu disakiti oleh kakaknya tersebut dan yang akhirnya mati di tangan kakaknya tersebut.

“Tapi ia adalah adik yang setia. Seperti Sukrasana kepada Sumantri dalam kisah pewayangan. Meski si adik terus-menerus dilukai, ia tetap setia dan membantu kakaknya. Demikianlah meski kemudian harus terbunuh di tangan sang kakak. Enek adalah Sukrasana, raksasa yang baik hati, yang mengusung taman Sri Wedari bagi kami. Dan setelah itu kami akan membunuhnya. Meninggalkannya sendirian.”

Memang cukup mengenaskan mendengarkan kisah tentang Mugiyono (Enek) yang selalu menjadi korban pada setiap peristiwa. Namun, hal ini menjadi realitas dalam kehidupan kita sehari-hari. Orang-orang yang mengalami cacat mental ataupun cacat fisik memang seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang kebanyakkan. Orang-orang seperti Mugiyono (Enek) sering dianggap antara ada dan tiada, bahkan dianggap dan diperlakukan seperti “badut” yang menjadi hiburan dan bahan tertawaan semata, kemudian dibuang dan dilupakan setelah selesai menjadi mainan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline