Lihat ke Halaman Asli

Lingkungan Hidup dan Peran Jasa Keuangan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Majelis Umum PBB telah menetapkan resolusi 65/161 untuk memproklamirkan bahwa periode 2011-2020 adalah dekade Keanekaragaman Hayati dunia. UN Decade on Biodiversity menjadi kesempatan yang berharga untuk melakukan pengarusutamaan keanegaragaman hayati dalam kebijakan dan tindakan para anggotanya. Bahkan secara khusus oleh PBB tahun iniditetapkan sebagai “International Year of Forest”. Pada awal Mei lalu, kita menyaksikan bahwa akhirnya moratorium penebangan hutan alam dan gambut dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Inpres No.10 tahun 2011. Tanggal 05 Juni yang baru saja lewat merupakan hari lingkungan hidup dunia yang juga diperingati setiap tahun oleh insan lingkungan Indonesia termasuk para stakeholdernya. Tiga peristiwa penting ini patut disambut dengan harapan akan perbaikan kualitas lingkungan ke depan ketimbang rasa pesimis yang berlebihan.

Kita tidak memungkiri fakta bahwa selama beberapa dekade terakhir Indonesia mengalami penurunan kualitas lingkungan yang serius, diantaranya illegal logging dan perubahan tata guna lahan untukpertambangan. Sebagai contoh tutupan hutan di Sumatera menurut laporan Bank Dunia 2002, selama 100 tahun terakhir mengalami penurunan tajam. Tahun 1900 diperkirakan lebih dari 90% pulau sumatera tertutup hutan, dan di tahun 2010 diperkirakan tinggal kurang dari 20%. Bahkan menurut para ahli biodiversitas, setiap dua ratus meter persegi hutan di Sumatera mengandung sekitar 188 – 218 jenis spesies flora dan fauna. Belum lagi kondisi di Kalimantan, kehancuran sistematis ekosistem sedang berlangsung manakala industri pertambangan (batubara) merajalela dengan kuasa penambangan yang begitu masif.

Berdasarkan State of Forest FAO tahun 2009 dengan baseline data hutan sepanjang 2000 – 2005, luas area hutan Indonesia adalah 88,495 juta hektar (48,8% dari total luas area negara) dengan laju perubahan hutan menjadi non hutan per tahun mencapai 1,871 juta hektar (-2,0%). Sementara Republik Demokratik Kongo memiliki 133,610 juta hektar (58,9%), laju perubahan 319 ribu hektar per tahun (-0,2%). Brazil memiliki hutan sebesar 477,698 juta hektar (57,2%) dengan laju perubahan hutan 3,103 juta hektar per tahun (-0,6%). Jadi di level global, Indonesia termasuk negara tertinggi dalam soal forest area dan area change. Selain Indonesia, ada negara-negara ‘perusak hutan’ lainnya seperti Burundi, Honduras, Mauritania, Nigeria dan sebagainya. Namun luas area hutannya tidak begitu signifikan, di bawah 1 juta hektar kecuali Nigeria yang memiliki hutan 11,089 juta hektar.

Dengan kondisi buruk di atas apakah kita perlu terus-menerus meratapi malangnya negeri ini. Perlu aksi segera, sebab hutan adalah penyangga kehidupan dan keanekaragaman hayati adalah basis kehidupan di muka bumi ini. Suka atau tidak suka, dua unsur penting tersebut saling berkaitan untuk menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tanpa berusaha menyalahkan, lebih-lebih stakeholder di sektor kehutanan maka langkah cepat perlu diambil semua pihak.

Green Financing

Perbaikan kualitas lingkungan terutama untuk mengatasi dampak pencemaran lingkungan telah menjadi kesadaran beberapa (tidak semua) kalangan industri ekstraktif. Proses mekanisme Amdal dan penilaian PROPER oleh Kementrian Lingkungan Hidup salah satu sarana efektif untuk mengatasi daya dukung lingkungan yang terbatas. Tetapi itu belumlah cukup, lantas dari mana lagi kita harus melakukan koreksi dan aksi nyata mengurangi dampak risiko lingkungan dan sosial itu? Mulailah dari lender, yakni perbankan sebagai urat nadi perekonomian. Green financing atau green lending adalah pemberian kredit ke sektor usaha yang ramah lingkungan dengan memperhatikan sejumlah kriteria-kriteria lingkungan. Prinsip ini selayaknya diterapkan oleh dunia perbankan melalui mekanisme screening risiko lingkungan dan sosial kedalam proses pemberian kredit. Proses ini mirip-mirip proses underwriting dalam penilaian aplikasi surat permohonan asuransi jiwa. Setiap perusahaan industri ekstraktif yang mengajukan pinjaman ke bank harus melewati proses “sustainability due diligence” dalam kebijakan manajemen risiko bank tersebut. Selanjutnya bank akan memproses segala dampak risiko dan memitigasi risiko sehingga pinjaman yang akan dikucurkan memiliki nilai “sustainability” yang memadai baik dari sisi financial performance, legal maupun operasional yang dijalankan oleh debitur dalam usaha ekstraktifnya.

Sebagai contoh, pengucuran kredit ke sektor pertambangan per maret 2011 adalah Rp. 65,526 triliun, perindustrian Rp. 278,298 triliun, listrik-gas-air Rp. 34,123 triliun (Statistik BI Maret 2011). Apakah pengucuran pinjaman ini sudah disertai dengan proses “sustainability due diligence” oleh internal bank? Apakah bank cukup peduli dengan hal ini atau mengesampingkan risiko lingkungan dan sosial sepanjang hal-hal lain di luar itu eligible dan fit dalam prosedur bank yang sudah eksis? Ketika perusahaan melakukan pencemaran lingkungan baik sengaja maupun tidak (contoh BP di Teluk Meksiko AS) dan kemudian diwajibkan ganti rugi miliaran dollar, maka yang terkena risiko finansial bukan hanya pihak korporat namun juga bank tempat BP meminjam atau menaruh dananya. Akibat dari ganti rugi tersebut cash flow perusahaan terkuras yang kemudian berdampak pada cicilan kredit atau penempatan dananya di bank itu.

Pembiayaan hijau (green financing) sudah mulai digaungkan oleh Bank Indonesia dan KLH dalam MOU tanggal 17 Desember 2010 dalam terma “green banking”. Langkah awal ini perlu diapresiasi dan segera ditindaklanjuti ke seluruh perbankan sebelum ekosistem hancur berantakan, entropik (irreversible) dan berubah menjadi bencana mengerikan. Dalam Pasal 47 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009, terdapat paragraf analisis risiko lingkungan hidup. Analisis seperti ini sebaiknya diperluas bukan hanya ke pelaku usaha namun juga diterapkan ke pihak lain yang berhubungan dengan pelaku usaha, khususnya perbankan atau investor lainnya. Kewajiban Pemerintah bersama Regulator (BI, Depkeu) untuk menurunkannya di level praksis perbankan yang juga mencakup investasi yang bertanggungjawab terhadap lingkungan.

Praktek “green banking” dapat mengacu kepada praktek yang telah dijalankan oleh perbankan luar negeri baik dari negara maju maupun negara berkembang. Sejak 2003 UNEP-FI (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup – Inisiatif Jasa Keuangan) bahkan telah menghimpun sejumlah 200 insitusi keuangan secara sukarela baik bank maupun non bank dari 40 negara (termasuk Indonesia, baru BNI yang ikut) untuk mendorong bank menyelaraskan bisnis dengan lingkungan demi menunjang pembangunan berkelanjutan. Mereka dikenal sebagai UNEP-FI Signatories. Sebut saja HSBC, Stanchart, Bank of America, Standard Bank dari Afrika Selatan, Grupo Santander dan Itau-Unibanco keduanya dari Brazil, Industrial Bank dari China dan lain-lain. Semua bank yang disebutkan ini memiliki standar manajemen risiko lingkungan dan sosial yang eksplisit dalam kebijakan perkreditan mereka.

Di tingkat regulator pada bulan November 2007 China mengeluarkan regulasi yang dibuat oleh CBRC (China’s Banking Regulatory Commission) yang mengatur “Guidelines on Credit Underwriting for Energy Conservation and Emission Reduction”. Dalam regulasi ini CBRC juga memasukkan katalog yang memuat sektor-sektor usaha mana saja yang layak untuk dibiayai oleh perbankan dalam kaitannya dengan aspek lingkungan. Jadi jelas sekali panduan bagi perbankan China sehingga mereka tidak kebingungan untuk terjun dalam bisnis yang ramah lingkungan.

Untuk mewujudkan praktek “green financing” dan “green banking” secara komprehensif maka selain regulator, peran nasabah dan pemegang saham sangat dibutuhkan. Suara kedua stakeholder khususnya mereka yang peduli pada isu-isu sustainability (keberlanjutan) dapat mempercepat manajemen senior menyesuaikan bisnis bank – nya dengan lingkungan hidup. Semua adalah pilihan, ketika kita ingin memperbaiki sesuatu, terutama planet sebagai rumah bersama, lebih sempurna kita mengerjakannya bersama-sama, sinergis dan berkelanjutan. Untuk itulah green financing menjadi keniscayaan dalam praktek bisnis yang bertanggungjawab dan ramah kepada lingkungan hidup. Dengan cara ini bank tidak memperlambat proses kredit namun memperkuat proses itu dalam keberlanjutan perusahaan maupun lingkungan dan sosial.


*) Ybs adalah Aktivis Sustainability, bekerja di salah satu Bank di Jakarta. Tulisan adalah Pendapat Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline