Beberapa waktu belakangan ini, dunia internasional dalam keadaan siaga menghadapi wabah penyakit Coronavirus 2019 atau yang lebih dikenal dengan Coronavirus Disease (COVID-19). Penyakit yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang sebelumnya disebut sebagai 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV) ini pertama kali teridentifikasi pada 2019 di Wuhan, Tiongkok. Penyakit ini kemudian mewabah secara global dan akhirnya masuk ke wilayah Indonesia yang menyebabkan pandemi coronavirus 2019-2020.
Pemerintah Indonesia pun langsung melakukan berbagai kebijakan untuk mencegah bahkan mengurangi penularan penyakit ini. Strategi kebijakan berupa larangan serta himbauan-himbauan diinstruksikan secara langsung oleh Bapak Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Kesehatan yang diteruskan kepada para kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), TNI-POLRI, para tokoh agama serta seluruh lapisan masyarakat. Selain instruksi secara langsung, himbauan serta larangan juga melalui berbagai platform media, baik media cetak, media elektronik dan juga media online.
Pada awalnya, kebijakan yang diambil masih bersifat himbauan, belum bersifat larangan. Seperti, ada himbauan untuk tetap di rumah, himbauan untuk menjaga jarak aman, himbauan untuk bekerja, belajar dan beribadah di rumah serta himbauan-himbauan lainnya.
Namun demikian, dengan melihat perkembangan penularan penyakit ini yang semakin masif, maka di beberapa daerah sudah melakukan kebijakan berupa larangan oleh kepala daerah setempat. Seperti, larangan untuk nongkrong atau ngumpul-ngumpul, melakukan upacara-upacara keagamaan, pesta-pesta dan yang terakhir adalah larangan untuk tidak meninggalkan tempat tinggalnya atau tidak boleh bepergian ke luar daerah. Hal ini dilakukan tentu untuk mencegah terjadinya penularan virus yang lebih masif lagi.
Akan tetapi, sayang seribu sayang. Kenyataan yang ada di lapangan masih jauh panggang dari api. Masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan atau larangan dari pemerintah. Masyarakat masih sering nongkrong-nongkrong, masih sering keluyuran di malam hari, masyarakat masih memadati tempat-tempat keramaian seperti pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, ada yang wira-wiri untuk bekerja mencari nafkah, ada yang masih menggelar resepsi pernikahan bahkan ada yang masih bepergian ke luar daerah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat seperti tidak mengindahkan himbauan ataupun larangan dari pemerintah. Faktor yang paling urgent adalah berkaitan dengan urusan perut, karena mereka berpikir apabila tidak keluar rumah berarti tidak bisa bekerja. Mereka terpaksa keluar rumah untuk bekerja demi mendapatkan rupiah agar bisa melanjutkan kehidupan.
Faktor lain, yakni karakter masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam memang cukup sulit untuk disadarkan dalam waktu yang relatif singkat. Mereka seperti menganggap remeh dengan virus yang sangat mematikan ini, sehingga mereka dengan tahu dan mau melakukan berbagai macam aktivitas sesuai keinginannya.
Sebenarnya, masih ada faktor lain yang menurut penulis cukup penting, yakni pola komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan atau menginformasikan himbauan dan larangan-larangan tersebut. Faktor ini mungkin menurut sebahgian besar masyarakat tidak terlalu penting, tetapi sangat berpengaruh terhadap proses pemahaman dari setiap informasi yang disampaikan.
Seperti yang kita dengar ataupun yang kita baca di berbagai media, bahwa himbauan maupun larangan lebih sering menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris. Misalnya, stay safe, social distancing, physical distancing, stay at home, work from home (WFH) dan lain sebagainya. Hal ini bagi sebahgian masyarakat Indonesia yang berlatar belakang pendidikan cukup dan tergolong kelas menengah ke atas, mungkin bisa memahami dengan baik istilah-istilah tersebut, sehingga mereka pun bisa mengikuti himbauan-himbauan dari pemerintah.
Namun, tidak demikian dengan kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah dengan latar belakang pendidikan biasa-biasa saja yang mungkin kecakapan dalam bahasa Inggris pun tidak terlalu baik. Atau kemungkinan yang terburuk, bisa jadi mereka memang benar-benar tidak paham bahasa Inggris, terlebih mereka yang berdomisili di daerah pedesaan yang juga tidak terlalu melek dengan media dan perkembangan teknologi.
Akibatnya, meskipun sudah ada himbauan ataupun larangan-larangan, tetap saja pada daerah-daerah tertentu masih saja dilanggar. Hal ini bisa disebabkan informasi yang disampaikan oleh pemerintah (komunikator) belum bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat (komunikan).