Pengantar
Seminaris adalah mereka yang memberikan dirinya untuk masuk ke tempat pembenihan sebagai calon imam Gereja Katolik. Sebagai calon imam, para seminaris tidak hanya hidup sebagai human of prayer tapi ia juga sekaligus 100% Katolik dan 100% Indonesia, seturut semangat dari Alm. Mgr. Soegijapranata, SJ. Para seminaris hendaknya menghayati hidup panggilannya itu dalam kerangka pluralisme dan toleransi antar umat beragama, sebab ia menjadi imam bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi bagi Gereja Universal dan terkhusus bagi Gereja Indonesia.
Identitas Kepluralan
Gereja Indonesia merupakan Gereja yang tinggal dalam kepluralan dan kemultikulturalan yang sangat luas. Hal itu menjadi suatu tantangan bagi para seminaris dalam menjalani perutusannya, maka penting bagi para seminaris untuk mengintegralkan dalam hidupnya nilai-nilai Pancasila.
Dalam diri seminaris, Pancasila dapat dipandang sebagai pedoman hidup harian (kode etik). Pancasila yang dipandang sebagai kode etik ini bukan mengangkat manusia bagi negara, tapi negara bagi manusia.[1] Hal itu dapat dipandang dalam perjanjian antara Tuhan dan Bangsa Israel melalui Musa dalam dekalog (sepuluh perintah Allah, Keluaran 20:1-17). Dekalog tidak hanya terbatas sebagai perintah, aturan, dan larangan tapi menjangkau sendi hidup harian. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya dipandang sebagai ideologi yang terkesan mutlak kebenarannya, tapi menjadi aspek pedoman hidup harian dan atau kode etik. Dengan itu maka hidupnya akan berkeutamaan (virtue) sebagai seorang calon imam.
Pancasila merupakan refleksi para pendiri bangsa (founding father) sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia yang plural mulai dari suku, ras, dan agama direfleksikan menjadi Pancasila dan dalam semangat "Bhineka Tunggal Ika," Tan hanna Dharma Mangrua (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada pengabdian yang mendua). Walau demikian, tidak jarang bahwa Kebhinekaan ini tidak berjalan secara esensial dan terkadang jatuh pada sikap indiferentisme.
Dimana sikap tersebut mengarah pada pilihan tindakan yang cenderung menyamakan semua perbedaan yang ada, dan menyingkirkan atau mengesampingkan identitas individu (juga kelompok) yang berbeda dan unik. Padahal identitas diri adalah tanda yang menunjukkan siapa dirinya itu secara utuh (nomen es omen). Dalam semboyan "Bhineka Tunggal Ika" menyatakan secara gamblang bahwa perbedaan di Indonesia nyata adanya. Identitas perbedaan yang ada itulah yang menjadi kekayaan bangsa ini sejak dahulu. Menerima kepluralan yang ada dalam tubuh bangsa ini merupakan kerendahan hati, karena kepluralan itulah kekayaan bangsa ini dalam hidup dan kebhinekaannya.[2]
Dialog Wujud Kerendahan Hati
Bagi umat beragama, sikap indiferensiasi juga menjadi suatu momok. Dengan sikap ini, umat beragama kehilangan identitas dirinya atau identitasnya itu meluntur. Sikap toleransi bukanlah yang demikian, memandang semua sebagai sama. Toleransi dan indiferentisme jauh berbeda. Toleransi adalah kemampuan seseorang untuk menanggung perbedaan yang ada dan hidup bersama di dalamnya dengan beriringan. Sedangkan indiferentisme lebih kepada menggeneralisasi perbedaan yang ada dan tidak mengindahkan perbedaan yang ada.
Gereja sendiri tidak menolak sikap toleransi. Sebab perbedaan yang ada tidak jarang memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.[3] Tapi dengan pernyataan tersebut, bukan berarti Gereja merelatifkan semua agama. Gereja menghargai keberagaman sebagai realitas yang ada, dan bersamanya, Gereja mau berjalan dan berziarah. Dengan menghargai dan menghormati satu sama lain maka akan terciptalah kebaikan bersama (bonum commune).
Untuk mencapai relasi yang baik antar agama, bukanlah dengan menganggap semua agama sama, melainkan melalui dialog. Dalam dialog itu memang terkadang ada ketidak sepahaman dalam beberapa aspek, tapi dialog itu melampaui keterbatasan dan menjadikan agama-agama dan kepercayaan sebagai saudara. Dialog ini yang perlu dan penting dikembangkan oleh para seminaris dalam formasinya. Dialog tersebut tidak melulu tertuju pada religiusitas yang dianut masing-masing pribadi, melainkan dapat melalui kehidupan harian dan dapat melalui karya-karya yang dilakukan bersama, melalui keinginan bersama untuk hidup bersama. Dengan hal tersebut, dialog tidak hanya berhenti pada tahapan diskusi, tetapi lebih jauh pada hubungan yang konstruktif dan positif, sebab antar anggota saling memahami dan memperkaya satu sama lain.[4] Inilah dialog yang indah yang dapat dipelajari oleh para seminaris.