Lihat ke Halaman Asli

Politik Brutal Filipina

Diperbarui: 1 Mei 2016   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rodrigo Duterte_Sumber_atimes.com_

Mungkin saat inilah politik Filipina akan pengaruhi Asia Tenggara secara dalam. Jika the Punisher, Rodrigo Duterte, menjadi orang nomor 1 di Manila, jelas akan mengubah status quo kawasan. Mantan petinggi Death Squad ini dipastikan akan mengurangi peran diplomasi, "Bila saya berjanji untuk membunuhmu, maka saya akan membunuhmu. Para pengedar narkoba berikan alasan saya untuk tidak membunuh kalian," ujar Duterte dalam kampanyenya yang blak-blakkan, sedikit melampaui teknik Donald Trump. Bisa dibayangkan perselisihan di Filipina Selatan bakal akan lebih berdarah-darah, karena memang kampanye Rodrigo Duterte secara jelas menyampaikan janji politik, yakni membunuh semua kriminal dalam enam bulan.... Cadas dan brutal...

Dengan pandangan politik berhaluan kiri, dapat dipastikan hubungan Filipina - USA, bisa kembali buram.  Entah bagaimana pendekatan Duterte pada ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan. Yang pasti sang jagal ini menyampaikan tujuannya yang penuh darah tanpa malu, dan mengejutkan dalam survei Pulse Asia, menempatkan penjagal ini unggul dari semua kandidat yang akan menggantikan Presiden Benigno Aquino.

Setelah runtuhnya rejim Ferdinant Marcos, Filipina dapat saja kembali dipimpin oleh karakter totaliter, dan Rodrigo Duterte lah sosok tersebut. Dalam negara yang mayoritas pemeluk Katolik, Duterte merupakan anomali, ia menyumpah Paus Francis, mempromosikan viagra, santai mengakui memiliki dua istri dan dua teman wanita lainnya. Politik brutal sepertinya menjanjikan bagi rakyat Filipina yang muak dengan sistem yang korup, entahlah, apa mengerti konsekuensi lanjutan dari penguasa brutal dengan latar belakang penjagal manusia, pada masa depan Filipina dan kawasan?

Tidak seperti beragam karakter di Indonesia yang mahir berkicau, Rodrigo Duterte tokoh yang tak pernah main-main, saat ia menyebut nama-nama terduga kriminal di depan televisi, hampir dipastikan semuanya ditemukan tanpa nyawa. Bagi Imam Katolik, Amado Picardal, strategi Duterte tak dapat diterima. Ia mengungkapkan dalam periode 1998 - 2015, pasukan "Death Squad" bertanggung jawab membunuh 1.424 orang, 132 di antaranya korban di bawah umur.

Jelas itu merupakan suatu tindakan pembunuhan massal, lanjut Piscadal, eksekusi dan pembantaian di luar hukum menjadi pondasi gerakan Duterte. Banyak pihak terus mengingatkan, namun popularitas sang penjagal semakin meroket, karena hilangnya kepercayaan pada hukum dan pemerintah. Tentu suatu yang menyakitkan bagi seorang ibu Filipina yang menceritakan kehilangan anak yang berumur 14 tahun karena ditumpas oleh "Death Squad" Duterte. Alasannya, Anak tersebut diketahui sering "ngelem" dan mencuri HP. Bentuk keadilan bawah tanah bagi anak yang masih kategori remaja.

Sejujurnya gambaran perpolitikan Filipina ini mencemaskan kawasan Asia Tenggara, di mana sebagian besar kawasan diguncang oleh skandal dan hancurnya kepercayaan publik. Di lain pihak, labilnya emosi masyarakat, dapat dimanfaatkan para karakter berwatak tak mulia untuk merengkuh kekuasaan. Ketika tokoh-tokoh yang meludahi kemanusiaan menjadi populer, maka jelas ada kesalahan besar sedang terjadi, dan kita sebagai bagian dari sistem turut berdiam diri tanpa berbuat apa pun. Bila demikian, mari sama-sama menjadi penonton dan menjadi korban brutalitas kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline