"Emang ada ya Kampung Bali di Tanah Melayu ? ".
" Kok bisa sih ada Kampung Bali disana ?".
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, baik itu dari segi adatnya, bangunan serta sejarahnya. Salah satunya di Sumatera Utara, yang terdapat banyak kekayaan alam dan budaya yang bisa ditemukan di salah satu provinsi di Pulau Sumatera Utara.
Ledakan Gunung Agung pada Februari 1963 silam adalah awal mula bagaimana Suku Bali bisa mendiami Tanah Melayu yakni di dataran Sumatera Utara.
Berawal dari bencana alam itulah yang kemudian membuat dampak yang sangat besar bagi masyarakat Bali. Tanah pertanian saat itu menjadi tandus, berbagai aspek perekonomian pun menjadi terdera. Sehingga tak sedikit masyarakat Bali yang harus kehilangan mata pencahariannya. Bisa dibilang masa-masa itu adalah masa tersulit dalam sejarah masyarakat Bali.
Kemudian, pemerintah pada saat itu tidak tinggal diam. Mereka merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau Dewata, agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) selama 6 tahun. Pulau Sumatera termasuk daerah tujuan mereka bertansmigran, mengingat sumber daya alam dan lahan yang masih luas. Dari situlah, banyak suku Bali yang kemudian tinggal dan bekerja di Sumatera.
Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka dibawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 Nomvember 1963, adalah kali pertama keompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat.
Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melalukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicari sebuah lahan kosong yang dapat ditemoati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.
Awalnya yang mendiami wilayah tersebut hanya terdiri dari 5 Kepala Keluarga saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang , datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 Kepala Keluarha, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.
Kedatangan suku Bali ke Pulau Sumatera, khusunya daerah Sumatera Utara, menambah ragam suku dan budaya nusantara yang mendiami provinsi ini. Meskipun suku Bali merupakan suku perantauan, tidak membuat mereka merasa terkucilkan di tanah orang. Suku Bali mampu menjalin kehidupan bertetangga yang rukun dan damai dengan masyarakat yang ada di sekitar kampung mereka. Bahkan, tak jarang terjadi pernikahan antara suku Bali dengan orang asli desa tersebut. Namun biasanya, jika ada warga suku Bali yang menikah dengan warga suku Jawa sekitarnya, suku Bali akan mengajak pasangan untuk memeluk agama suku Bali.
Dalam hal pendidikan mereka juga tak mau tertinggal, meskipun tak sama seperti di Pulau asalnya, namun warga kampung Bali ini tidak lengah terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka bersekolah di tempat sama seperti anak-anak warga kampung asli tersebut. Hanya saja dalam pelajaran agama, mereka hanya mendengarkan saja apa yang diajarkan guru disekolahnya. Dan dalam kesehariannya, anak-anak suku Bali tetap bisa bermain dengan anak-anak lainnya.