Lihat ke Halaman Asli

Si Gagap Itu Translater ll

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Si Gagap itu Translater

Matahari mulai meninggi, bayangan tegak lurus mengikuti empunya, dedaunan mulai meranggas bahkan sang cemara taklagi kuhirup wanginya. Tahun terkhir, di semester genap putih abu-abu tersemat. Rasanya seperti terkena karma oleh sebuah kata “Waktu” yang berlalu tanpa kompromi. Suasana bak buah Simalakama, di rundung dilema.Oh, Dearlamunanku!

Aku masih terngiang beberapa baris kata yang di sabdakan almarhum kepala sekolahku pak Muhammad Tartib, “Hidup ini layaknya seorang penyelam, berbekal tabung mencari harta karun berupa mutiara di dasar lautan lepas. Tubuh terkelok-kelok layaknya seekor ikan, menyelami terumbu karang melihat jutaan keajaiban Tuhan. Indah nian lautan, berekspedisi kesana kemari, menelanjangi lautan dengan pesona yang tak dapat terlukiskan. Ternyata sang penyelam lupa akan tujuannya mencari mutiara-mutiara, tabung oksigen tinggal beberapa hempasan napas.Hingga waktu harus membawanya pada daratan dan tak mendapatkan sebutir mutiarapun”.

“Ah, apakah itu aku?” sontak aku terteguh, masa putih abu-abu kan meninggalkanku. Aku berganti level, tantanggan hidup didepan mata. Radea menghampiriku, mengajak bernostalgia masa-masa transisi, di sodorkannya hape NOKIA yang menurutku agak mewah.

“Siap membuat film dokumenter?, memfilemkan kisah-kisah indah masa SMA.”

“Seperti di teve? Kisah cintamu masuk di daftarnya?”

“Hm, bisa jadi. Tapi kebersamaan kita dan kawan-kawan yang paling penting.”

Tak inggin kumenggadaikan realitas, “Aku sedih” jawabku.

“Hal itu wajar adanya, tapi masih teringatkah kamu kisah Cahyoe Retno yang suka dijailin, MJ alias Muhammad Jainul yang seperti psikopat. Sang pujangga pak Darmo dan yang paling humoris pak Hari pamanmu itu. Pikirkan lagi, itu kenangan untuk anak cucu kita nanti!” Radea menimpali.

Mangut-mangut kepalaku dengan krudung putih yang kocar kacir tanpa Bros, penampilan sangat apa adanya atau karena ignorenkupada penampilan tentunya tak seperti teman-teman wanitalain.

“Ya, menikahlah dengan kekasihmu segera, agar anakmu bisa nonton bapaknya semasa SMA.” Aku nyengir pada mantan ketua OSIS bertubuh jangkung itu dan kamipun tak bisa menahan gelak tawa.

Aku merasa beruntung melihat bibit-bibit intelektual itu menggandeng tanganku sejak pertama kali aku pindah di sekolah ini. Jiwaku terenyuh, dan kejadian yang takkan pernah kulupakan. Aku merasa mereka akan mengucilkanku, berpidah dari sekolah katolik mungkin akan menjadikan berbagai banyak asumsi. Tapi mereka memelukku dengan kata persaudaraan dan persahabatan.

Siang itu udara sedikit membuat gerah, sekolah swasta menggunakan AC alami alias fentilasi berkusen biru dalam tembok yang di cat putih agak ke biru-biruan. Ketika melongok ke kanan mata dimanjakan bunga-bunga tropis dan beberapa baris cemara yang menjulang seperti Eiffel.Dibelakang pagar terdapat bambu-bambu dan dibawahnya ada gemericik air yang mengalir dari hulu gunung Arjuna yang membawa kedamaian. Jika menaiki lantai dua maka sekolahku terapit dua buah gunung, gunung Arjuna dan gunung Penanggungan. Tak salah memang Indonesia dijuluki surga dunia, dengan warna hijau menyejukkan mata seperti gambaran surga ukhrawi. Sayang saja kita tak bisa menikmati surga ini karena campur tanggan asing.

Semakin pelajaran matematika berlangsung semakin tak tertahan saja mata ini mengedipkan kelopaknya, godaan bagi kebanyakan siswa. Setan apakah yang paling pintar menggoda hingga dalam detik yang panjang ditambah leherku yang agak sakit terkilir karena bantal memilih Pilihan terakhir dengan menaruh kepala yang makin berat dan mata yang tak bisa berkompromi pada sebuah meja yang tingginya pas untuk tidur. Berselancar mendamaikan diri kurang dari 10 menit.

Teriakan demi teriakan dari sang guru untuk membangunkanku tak kuhiraukan, suaranya bagai alunan lagu nina bobo yang membius. Tak tanggung-tanggung pak guru yang hobi main musik itu membentak.

“Agustin...bangun!”

sontak mimpi indah terputus karenanya.

“Kenapa kamu tidur? Maju” telunjuk sang guru mengarah pada papan berwarna putih.

“Iya pak itu soalnya...” mataku tetap sipit

“Maju cepat!”

Suasana kelas mendadak hening hingga bambu-bambu yang berada di samping sekolahpun terdengar seperti menertawakanku, semilir angin yang mengalun berdesis-desis di tengah bambu-bambu meriuhkan kalbu, bagaimana tidak aku murid baru, pindahan dari katolik tertidur di kelas.

Aku berdiri, untungnya tak mengangkat satu kaki dan membawa vas bunga di tanggan.Kulihat teman laki-laki yang tersenyum ditengah suasana yang agak memanas itu. Aku seperti badut yang mematungdan penonton ramai memelototiku dengan tanpa suara hingga jarum jatuh kedengaran.

“Jangan pernah kamu duduk sebelum ada yang menggantikan kamu”

“Em,,,” ingin bertanya

”Lihat temanmu yang mengantuk, sebut namanya keras-keras. Dan kamu bebas untuk duduk. Selama belum ada silahkan kamu berdiri hingga pelajaran berlangsung” pak Eko dengan mata melotot di balik kacamata bundar dengan gagang emas.

“Baik, pak.” jawabku.

“Dua jam men” hati mulai menggerutu,

Pelajaran berlanjut sepuluh menit, belum ada yang membuka mulut tanda menguap, dua puluh menit mata mereka seperti tak mau berkedib alias nggak ada yang ngantuk. Setengah jam,

”Owh kakiku!, ayolah kawan jangan bersandiwara kalau ini membosankan” aku meronta-ronta dalam hati.

Kutiup-tiup vas bunga itu berharap ada mantra yang keluar dan menidurkan sebagian orang. “Bodoh, mana mungkin. Aku bukan penyihir. Haha.” Otakku reflek.

Lima menit setelah itu,

“Pak, anak yang depan itu mengantuk”

“Siapa?”

“Yang itu, Bagus pak”

“Bagus, maju kedepan.”

Dahulu terasa indah, ingin mengulang kembali SMA. Film dokumenter kacangan yang kubuat bersama teman-teman selalu kuputar ketika kangen menggeliat menghampiri, lagunya tak jauh-jauh Bondan Prakoso dan Ebit G Ade. Musisi yang sangat di gandrungi almarhum pak Tartib guru kehidupanku, beliau meninggal dengan sakit kelenjar ludah membengkak. Aku berharap bisa bertemu dengannya dalam mimbar-mimbar Allah yang terbuat dari cahaya.

Takkusangka pelajaran yang mulai di perkenalkan dengan angla NOL oleh Aljabar itu menghantuiku hingga Universitas, aku sudah mengucapkan selamat tinggal pada angka NOL dan Aljabar atau nama moderennya Matematika, meski keseharian tetap memakai matematika untuk menghitung uang jajan dan lainnya. Oh Dear! Ternyata Matematika bergaya menjadi Statistik di Universitas. Hadew!

Sengaja kupilih jurusan yang membelot dari Matematika meski sedikit nyerempet, Bahasa jawabannya. Awalnya di SMPakutak begitu tertarik pelajaran bahasa Inggris meski gurunya sangat nice, tapi setelah aku mengetahui ada tetangga yang menjadi translater “guide” mbak Ning namanya dan saudara kakek Lek karsonoyang kala itu juga pulang-pergi luar negri karena menjadi salah satu manager di perusahaan minuman bersoda di Pandaan.

Terbesit ketertarikan dalam diriku, dimulai dari kursus pada mbak ning hingga kursus pada lembaga bahasa inggris bernama NSC (New Surabaya College) yang sekarang berubah menjadi PEC (Pandaan Education Center), awalnya kakek melarang karena jarak tempuh yang lumayan jauh, disore hari dengan perjalanan dimana bajing loncat biasanya mangkal. Wow!

Disana tempat umum dan tentulah bercampur banyak agama, dari yang mulai Islam sepertiku, katolik hingga Hindu.

“Kamu kristiani ya?”

tanya Rizal temanku di intermediate 1 diakhir kursus.

“What?”

“Are you Christian?”

Dia mengulangi kalimatnya kembali.

“Enggak, aku muslim” jawabku setengah tertohok. Aku marah pada diriku sendiri dan mulai berpikir. Krudung bukan hanya penutup kepala, tapi identitas. Dan aku takpunya identitas.

Sempat tak yakin dulu aku menang lomba pidato bahasa Inggris karena kelancaran bahasaku, tapi karena tepukan riuh yang bertebaran masuk ke dalam telinga juri. Bukan juga 100% karena aku kursus, karena kursus itu hanya membantu selebihnya kemauan yang menentukan. Lidah cadalku yang kata teman-teman khas.Mendapatkan Juara 2 tak membuatku puas.Nur Huda sepupuku yang ganteng itu tak dapat kutandingi, hingga aku bertanya pada teman dekatnyaTarmuji apa rahasia sehingga dia sukses pidato, jarang belajar tapi tetap jos. Aku inggin sepertinya tanpa belajar udah ok. Hadew, mimpi!

“Mas, suatu saat nanti bahasa asingku akan setara denganmu. Tapi bukan bahasa inggris. Aku mau expert di bahasa lain” perpustakaan sebelah barat dan buku-buku jaman lampau itu menjadi saksi percakapan kami. Tarmuji kala itu hanya menyimak.

“Ya, kamu pasti bisa. Tapi aku juga tak mau kalah darimu.” Mencoba tersenyum.

“Tak ingginkah kamu melihat selat Bosporus dan Bukit Galata seperti pak Tartib utarakan tadi pagi?” Tompel menyambung pertannyaan, semanggatnya untuk melihat dataran Turki meluap setelah kepala sekolah kami membakar semangat murid-murid akan kisah Muhammad Al-Fatih dalam pendakian bukit Galata dengan kapal-kapal di malam hari dan menyebrangi selat Bosporus untuk menyerbu konstantinopel.

“Turki, tentu saja masku. Berharap kaki ini kansinggah di Eropa kecil.” Sepupuku ini pendiam, tak jelalatan. Biasanya para wanita menanyakan perihalnya kepadaku, dan aku menjawabnya. Imbalannya berupa snack yang di jual bude Sri, bu kantin. Lumayan.

Seperti janjiku pada Mas Nur Huda alias Tompel, dipanggil Tompel karena di leher bagian kirinya ada sejenis tompel hitam bulat berdiameter kecil. Awalnya dulu dia tak pede tapi lama kelamaan dia tetap ganteng. Aku memilih memutuskan, memantapkan, meyakinkan diriku mengambil bahasa yang takkan mati dimakan waktu.

Jika aku menggunakan bahasa inggris ketika sekarang aku bertemu ratu Elisabet pastilah ratu Elisabet mboten ngertialias not understand. Karena bahasa inggis berubah-rubah, tapi sendainya sekarang aku bertemu dengan Rasulullah Muhammad orang yang kuimpikan untuk kutemui dan aku menggunakan bahasa Arab fushhah pastilah beliau mafhum, karena kevalitannya terjaga hingga nanti matahari terbit di sebelah barat. Aku menerjang badai meyakinkan diriku menyelami bahasa surga bahasa untuk memahami agamaku Islam. Bahasa bukan milik agama manapun, tapi untuk memahami Islam perlulah bahasa arab. Meski kala itu akupun tak memakai kerudung apalagi jilbab.

Hingga suatu hari, aku berdiskusi dengan salah satu petugas TU di sekolah, mbak Amrillah yang membenamkanku pada kata-katanya.

“Banyak orang yang mengatakan, aku ingin mengkrudungi hatiku terlebih dahulu, nanti saja berkrudung secara fisiknya. Menunggu hatiku bagus dan baik.”

Aku hanya bisa nyengir, ternyata pemahaman itu tak benar-benat amat. Mbak Amrilla melanjutkan perkataannya.

“Sampai kapan?, pakailah kerudung dan jilbab sekarang InsyaAllah hati dan tingkah lakumu akan mengikut, itu syariat Allah.” Katanya dengan mantap.

Memang benar nasihat kepala TU kapan hari, aku yang suka bergerumul dengan teman laki-laki. Mencolot sana sini, menyadari aku seorang wanita muslim yang perlu menunjukkan identitas. Hingga ada teman laki-lakiku yang kaget aku memakai jilbab alias jubah, seperti lorong. Kesan pertama kala itu membuatku ngilu. Wanita terkadang memakai perasaan, dan para lelaki memakai logika ketika menghadapi sesuatu. Hari itu bertepatan dengan momentum Ramadhan aku memakai logika untuk menerapkan syariat Tuhan, pertentangan dari keluarga besar kutandaskan.

*

Kekayaan bahasa arab akan mufrodat alias Vocab, seni yang elegan dengan Adab, penyampaian yang indah nan berasar pada Balaghoh, keunikan susunan bahasa dalam Kowaid. Bahasa langit itu nan indah kurasakan, menyejukkan.Kata-kata onta yang lebih dari seribu tulisan, penyebutan dalam hari bukan hanya pagi, siang, sore, malam. Tapi lebih.

Dosen-dosen berkwalitas Timur Tengah, mereka bergam. Dari Universitas Islam tertua di dunia Al-Azhar kairo. Yang kulihat pertama kalidalam buku Ilmu Pengetahuan Sosian kelas 6 SD yang diajarkan pak Jumadi. Universitas Khortum, Sudan. Ankara University, Turki. Awasome!

Kali ini tak semulus pikiranku. Semester pertama dalam kuliahku berantakan, hingga semester empat menerjang. Aku dibuat gaguk oleh diriku sendiri dengan bahasa Arab.

Satu kata Maind Set menggawalinya, beberapa kakak kelas mengatakan bahasa Arab itu sulit, sitemnya disini agak ekstrem, kamu bukan dari pondok pesantren yang dengan mudahnya bisa, pelajarnnya banyak. Dan berbagai banyak kata, kalimat yang terngiang-ngiang menggerogoti cita-citaku seperti yang kuutarakan pada sepupuku Tompel. Anehnya aku tertantang, menggila, hingga bulan purnama taklancar datangnya bukan hanya aku tapi kami berempat. Rina, Sari dan Anna. Oh Dear, setres menghampiri!

Aku mendadak gagap tak lancar membaca apalagi bicara, bahasa pengantarnya bahasa arab tulen. Jangan harap bisa masuk level pertama, aku masuk kelas persiapan dan tiga kawanku. Kami dari SMA biasa, yang pondokpun juga ada yang masuk kelas persiapan. Aku kisut, menciut.

Aku melonggo saja melihat dosen berbahasa Arab, pikiranku melayang. Dimana aku?, Turki, Mesir, Makkah atau Palestina. Dentuman-dentuman memiliki daya tarik kuat keinggin tahuan meletup-letup di otakku akan arti bahasa yang mereka ucapkan. Sengaja kupilih duduk di depan meja dosen, agar aku bisa mendengarnya dan melihat mulut mereka komat kamit. Hingga bu Rahma menyuruhku duduk berpindah-pindah, mungkin sudah katam dan denggan wajah bodohku.

Menyenggolkan siku kiri ke anna, dia menggeleng tak tahu apa arti kata yang telah terucap dari bibir sang dosen. Siku kananku tak mau kalah kumenyenggol Ani anak madura yang dermawan itu,

“Apa artinya?”

“Kamu pasti bisa”

“Apa arti yang di ucapkan bu Rahma barusan?” menyodorkan kertastulis, sedikit mengerutkan wajah.

“Ituarti bahasa indonesianya KAMU PASTI BISA”

Aku menertawakan dirku sendiri!

Beberapa bulan berjalan, aku tambah bodoh saja. Sebagian dari teman-temanku ada yang meroket kelangit kebahagiaan mencari ilmu bahasa Arab sebagian lagi memutuskan tak melanjutkan kuliah, dengan beragam alasan mulai dari menikah, kerja hingga secepat kilat banting setir jurusan. What happent?Alasannya simpel aku nggak kuat belajar bahasa Arab. Oh Dear! Semudah itu.

Aku montang-manting, kucoba Formula bahasa inggrisku. Kutempel pada bahasa Arab, oke. Kamus Al-Munawwir, Al-Bisri dan Mahmud Yunus dan sebuah nash bertengger di hadapanku. Sebagian uang celenganku untuk membelinya sebagiannya aku minta pada kakek. Kalau bahasa Inggris dulu pamanku yang membelikan dua kamus jhon echol dan aku bisa membacanya. Tapi ini bahasa arab kawan, aku harus mengetahui kata dasarnya. Jadilah aku tak meneruskan membukanya karena takbisa. Kepandaian yang kutunda. Logiskah?

Temanku Arta, pintarnya bukan main meski lulusan SMA biasa. Semangatnya 45, belakangan kudapati sebuah pertanyaan berkecamuk dengan brutal di otakku “Dia bisa excellent, kenapa aku nggak?” Arta ternyata sudah belajar Kowaid alias grammar dalam bahasa Arab, sekolahnya memberikan Muatan lokal dan Extrakulikuler bahasa Arab. Dedaunan di jendela melambai-lambai memberi sinyal agar aku intospeksi diri.

Aku gelisah, hatiku berjalan terseok-seok. Berulang kali kuterbawa dalam lamunan, tepuk tanggan keras untuk presentasi Arta membangunkanku seperti tersadar dari hipnotis kebanyanyakan magicion. Apakah aku terlalu berlebihan, apakah aku terlalu bodoh, apa aku tertipu maind set?. Aku inggin seperti angsa dalam filosofinya, terbang bersama menjauhi musim dingin. Dalam panorana berfornasi hufuf V aku salah satunya.

Suasana malam menyapa dalam kesenyapan kos berpintu gaya mexico, menunjukkan para penghuni telah mengunjungi pulau kapuk.Kuputar film India yang Rina berikan siang tadi, katanya menginspirasi.Aku takbegitu suka film india. Tapi hari jum’at itu menjalar rasa putus asa yang teramat sangat, mungkin saja aku bisa terinspirasi. Taare Zamen sebuah film sarat akan pesan mengambarkan anak dislexia, hingga temanku dari Timor Leste yang mengendap-endap menonton menangis karenanya. Setiap kita adalah istimewa itu yang kudapat.

Perkuliahan ini adalah bahasa, identik dengan keseharian, sehingga jika tak di ucapkan tak akan bisa. Kupasang wajah gendutku di cermin yang agak lebar berbingkai hijau pas untuk mengaca dua orang, sengaja kubawa dari desa. Aku melihat moncong bibirku berkomat kamit, ternyata kurang pas kalau berkomat kamit saja. Kukeraskan suara sehingga aku tahu apa yang kubaca. Salah satu trik orang belajar bahasa kata dosenku, bu Rahma. Kalau bahasa inggris ada yang bilang bahasa munafik karena beda tulisan dan bunyi maka bahasa arab pas dengan bunyinya. Panjang dan pendeknya.

Bederet-deret tempelan warna-warni dari kertas berukuran A4 yang kupotong-potong dan dua buah kertas manila terpampang di kamarku. Rina tak komen. Kos kami memang begitu kecil tapi kami enggan pindah.Disamping murah, teman-teman yang aduhai baiknya dan bapak kos yang pengertian. Berbagai tulisan huruf hijaiyah terpampang di sana, entah pelajaran apa saja.

Memutar, jadi di setiap sudut. Sejauh mata memandang pastilah tulisan itu tertawa, menangis, geli minta di baca. Pulpen dan sepidol warna warninya mencolok mata. Taklupa kupasang gambar negara Turki, dengan menara-menaranya, entah kapan akan kesana. Tertulis di bawahnya “Don’t was your time girl”, serta beberapa ikat kertas yang kujepret dan kutempel di dinding. Maklum suka corat-coret dan tak mungkin mencorat coret tembok. Sehingga sebelum tidur biasannya aku menuliskan beberapa kebaikan yang kudapat, sedikit saja yang tak mengenakkan, pagi harinya kusobek dan kumasukkan pada binder. Mungkin bagi sebagian orang ini kurang kerjaan. Oh Dear!

Hari jumatberikutnya aku terkena hukuman berdiri, anna, Rina dan sari bernasip sama denganku. Aku mulai meratapi nasip yang kian tak menentu, pulang kerumah takberani mengadu pada ibu. Ibu ingin menguak jeritan yang tersembunyi dalam wajahku,auranya takdapat kusangkal seperti halnya ada kata-kata yang mengejarku tanpa ampun hingga kumengadu padanya. Aku hanya memohon doa terbaik, mataku buram oleh airmata asin yang masuk dalam bibirku.

“Bu, doakan semua urusan saya lancar” aku berkaca-kaca ludahku tertahan di kerongkongan.Malam itu terasa sendu,

“Pasti, mbak. Ibu doakan yang terbaik”

Ibu bapakku orang-orang so sweat mereka banggun mengguncangkan Arsy Allah ketika para penduduk bumi terlelap. Ibu pernah menegurku agar aku juga melakukannya, habit yang sulit untuk dimulai. Ibu membangunkanku, aku mengambil wudlu cepat-cepat sholat dan lekas tidur lagi pikirku.

Aku sudah beranjak, kedua orangtuaku masih saja dalam duduk syahdunya memadukasih dengan Allah. Mataku mulai meneteskan airmata lagi, bukan karena mereka so Sweet atau romantis, meski itu salah satunya. Aku mempunyai 3 orang kakak, setiap orang selalu di sebut namanya dalam doa dan didoakan. Tapi ketika ibu menyebut namaku kenapa doanya lama sekali, tak hannya sekali dua kali.Seharusnya aku senang tapi ketika kuintip aku malah merasa banyak salah, kekurangan dan tetek bengeknya sehingga doa itu terlama untukku.

“Wanita itu tempatku mengadu” gusarku dalam hati. Perlahan kudatangi ibu kumengganggu kemesraannya dengan Ilahi, kutidur di pangkuannya. Kuberikan kejutan pertanyaan dalam lingkaran malam. Perasaan berkecamuk, kali ini takbisa kubohonggi perasaanku.

“Bu, kenapa rasanya sulit sekali belajar bahasa Arab. Rasanya sangat bodoh diantara teman-teman yang lain?” sambil menahan ngilu di leher karena sakit menahan tangis.

Ibuku yang lulusan SMP Taman Madya mengatakan “Sebenarnya tidak ada orang yang bodoh di dunia ini mbak, hanya saja mereka tahu lebih dulu dari pada kita sehingga mereka dikatakan lebih pintar meski ada beberapa orang yang tidak sempurna cara pikirnya. Ada juga orang yang dikatakan paham, yaitu orang yang tahu dan melakukan amalan yang di ketahuinya. Itu hasil pengajian kemarin malam.”

“Siplah ibuku” aku tertidur dipangkuannya, dia tetap memuji nama Allah yang Esa. Ayahku hanya tersenyum melihat diriku yang manja dan kembali menyusun kakinya untuk formasi shalat.

*

Dunia ini bagai WEB, luas, saling berhubungan satu sama lain. Dan perkenalanku dengan mahasiswi Sains Hesti membuktikannya. Hesti berasal dari dataran penghasil pisang sama sepertiku,dia lebih tua dua tahun alias empat semester.Aku mengenalnya karena bapak Hesti adalah relasi bisnis paman. Perkenalan antara aku dan hesti di rumah paman berlanjut hingga ke kampus.

“Aku nggak nyangka kak kalau ada tetanggaku yang kuliah di sini” aku memulai percakapan

“Iya, semoga ini menjadi awal persahabatan kita”

“aminn”

Bagiku pertemuan dengan Hesti adalah obat pelipur lara, bagai tangan yang mengangkat daguku setelah tertunduk lama. Perlahan Hesti menyusun tulang belulang pedeku yang remuk terhantam kata-kata bodoh sangat dahsyat. Hesti menjadi kakak sekaligus teman baruku. Mengajakku untuk mengikuti kursus bahasa inggris yang di adakan fakultasnya menjadi kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan. Aku mencoba berdialog dengan diriku, darahku mendidih. Memunculkan kalimat sepektakuler dalam sensasi tersendiri.

“Pernahkah engkau memikirkan bahwasannya engkau hebat ketika berada disisi seseorang? Bukan karena kecerdasan atau harta kekayaanmu.Tapi karena dia datang mem-back up kekuranganmu dan menaruh kepercayaan padamu.”

Hesti dan aku kala itu sedang mengalami kebangkrutan, ayah Hesti tertipu orang. Pamanku terimbas, Hesti harus bekerja pada toko elektronik bibinyayang berjarak 20 menit dari kampus untuk biaya kuliah. Aku sering melihatnya berdiri ketika adzan Magrib berkumandang, mataku berkaca-kaca kulihat tak lebih dari satu menit karena kumenaiki angkot. Hari kamis tepatnya, setiap hari kamis di jam yang sama sepulang aku mengajar bahasa inggris anak-anak Petra.

Semester ini aku harus bekerja ekstra untuk membeli buku, rabu-kamis menjadi guru privat bahasa Inggris, sabtu-minggu aku bekerja di pasar membantu ibu kos yang berjualan bahan-bahan sembako. Selain aku menjadi ghos writer di salah satu blog pariwisata dan dipecat setelah takmumpuni jumlah target artikel.

Hari senin Hesti libur kerja kala itu dan menyempatkan diri ke kosku. Wajahnya putih, seperti habis di cat, lemas. Aku gemetar membawa secangkir teh untuknya, gemetar melihat keadaannya. Aku mendekat, kiranya dia dalam penderitaan demikian hebat. Sepoi halus angin malam membelai pipinya didepan rumah HJ Asma pemilik kos. Sepontan aku ingat dia akan pergi KKN rupanya.

“Dik, kakak mau pergi KKN, mungkin 1 bulan” apakah masalahnya yang menggunung itu menciptakan wajahnya yang eksotis itu.

“Mau di bawakan apa kalau pulang?”sempatnya orang ini bertannya.

“Bawakan bulan untukku kak, hehe.”

Dia hanya tersenyum. Tangganku menghampiri dahinya. Kujulurkan sebuah saputanggan kuning untuk mengompres ketika sesampainya di kos Hesti. Kutahu dia orang keras kepala yang tak biasa minum obat, tapi setiap aku melihat kegigihannya beragama, belajar dan bekerja membuatku takjub.

Club English yang kugawangi bersama Hesti seakan menyuntik semangatku, ada injeksi baru dalam diri. Memberanikanku menerima naskah-naskah guru-guru SD dan SMP untuk diterjemahkan gampang-gampang susah, Inggris-Indonesia atau Indonesia-Inggris. Gajinya lumayan.

Aku menghubungi Mbak ning, memintanya agar membawaku menjadi “guide” dan pertemuanku dengan Debora turis asal Belanda menjadi perdana acara ngelancong Trawas kala itu. Jam menunjukkan waktu makan siang, tapi Debora tak mengajakku makan atau minimal memberikan makanan. oh, perutku melilit. Aku berdoa asam lambungnya tak naik.

“Mbak Ning, saya kelaparan sekali. Orang bule ini apa tak makan” sms terkirim.

“Iya Dik, minta saja tidak apa-apa, memang mereka seperti itu.”

Debora menyangupiku makan setelah ini, tentu aku tak akan makan di tempat dimana aku duduk sekarang. Di tempat Relasi Debora, selain itu hanya kunjungan biasa, anjing yang menjaga rumah itu besar-besar hitam melolong-lolong mengalahkan perut laparku. Enak juga menjadi penerjemah, bisa ngomong sama orang bule dan melancong. Tapi sayangnya kami takboleh memakai kerudung, apalagi jilbab meski kala itu aku menggunakannya. Jika boleh, mungkin aku akan bertengger di Taman Safari ll, kebetulan tanteku pegawai tetap disana.

PCP (Padepokan Cahaya Putra) tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya, sebuah resort keluarga yang sering dikunjungi Debora ketika ke Trawas. Pertama masuk di sambut gerbang yang tinggi, tanaman-tanaman hijau dan rumput mahal di sekeliling, sebuah bukit yang menjulang yang ada di balik resort seakan dekat sekali. Ruang-ruang meeting dan penginapan nyaman. Tapi tiga buah kolam renang yang masing-masing berbeda ukuran dari anak-anak hingga orang dewasa yang memiliki air sanggat biru segar karena ubinnyan terbuat dari tekel berwarna putih dan memiliki pinggiran warna merah itu menggoda selerannya

Resort ini tak begitu ramai jika dilihat dari kolam renang, mungkin juga karena penggunjung banyak yang tak renang hari itu sehingga hanya ada beberapa orang di dalam kolam renang dewasa dan beberawa wanita dengan anak-anak mereka yang memakai pelampung bebek.

Srett,,, byur, tiba- tiba terdengan seperti orang yang baru memasuki kolam akulah orangnya. Akuterpleset ubin di sebelah kolam renang, pinggiran ubin itu menghantam daguku hingga pecah.Meminum sebagian air yang tercampur kaporit dan sulit berenang sudah tentu bagian dari atraksi yang tak terduga itu. Debora langsung menolongku, sementara aku sudah kenyang dengan air bercampur kaporit. Daguku yang seperti bibir kedua mengerikan sekali, Debora membawaku ke klinik terdekat.Bekas jahitan itupun masih tersisa di daguku hingga sekarang dan hanya bisa di lihat jika aku mendongakkan kepala ke atas.

“Sorry miss”

“Never mind”

“bahasa Inggris dan Atitutku jelek”

“Oh Tidak, bahasamu sangat bagus. Bahkan tata bahasamu dalam bahasa inggris”

“Tidak, apa-apa Dik” timpal Mbak Ning.

Aku meminta maaf pada Debora dan mbak Ning yang kala itu mengunjungiku, untunglah bule Belanda itu memahami keadaan yang ada. Mbak Ning terlihat akrab, biasanya mbak Ninglah yang menjadi penerjemah Debora ketika ke Trawas.

*

Libur semester telah usai, saatnya aku kembali menyelesaikan tantangan bahasa Arabku. Tak tahu kenapa aku enggan untuk out dari fakultas ini. Meski ketakutan mencekam, apa yang kutakutkan? Jalan terjal kudaki, kerikil tajam siap mengoyak kaki. Jam sembilan tepat bu Nuril memasuki kelas, beliau memintaku membaca naskah huru-huruf keriting itu. Tulisannya kecil menurutku, aku tak bisa lancar salah sana-sini suaraku parau terserang batuk.

“Anti ya Agustin, ya salam” aku menciumbau ketidakpuasan dari bu Nuril.

“Afwan ustdzah”

Malam berhawa panas menggusikku, mataku kering setelah mengguras airnya. Kubuka lembaran dalam buku hijauku.

Saya Silvonia Agustin adalah sepesial dan unik. Pantang menyerah dan Ambisius adalah kata yang saya dapati dari teman-teman. Sejak SD saya tak begitu menyukai pelajaran bahasa Inggris, ketika menginjak SMP

Dipelajaran yang lain aku selalu mengacungkan diri, tanganku capek hingga mau patah. Tapi takkunjung dipilih bu dosen hayati, tetap saja aku mengacungkan tangan. Tanganku sudah secepat kilat aku takmau melewatkan kesempatan. Burung-burung gereja kecil itu, berkicau-kicau seperti terorganisir menyemangatiku. Hatiku menangis.

“Ayo, pilihlah aku, pilihlah aku” hatiku meminta tanpa mau berkata.

Aku sadar tak sepandai teman-teman yang lain, sari yang duduk di sebelah menurunkan tangganku

“Sudahlah, kamu sudah capek. Tunggulah kesempatanmu hari esok”

Kudatangi kantor kumencium tanggan lembut bu Hayati, aku prihatin atas diriku, mencoba meluluhkan jiwanya. Aku meminta saran begini dan begini, tak sengaja keluar dari mulutku “Setiap orang punya kemampuan ya bu, tak terkecuali mungkin saya” mencampur adukkan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia yang medok.

Anehnya, setelah kudatangi kantornya aku dipilih bu Hayati untuk menjawab pertanyaan begitu beliau mengajar, beliau mengapresiasiku, mengapresiasi keberanianku memintanya menuntunku.

“Teruslah belajar anak-anakku, meski engkau bangun malam dan tak ada satu manusiapun yang tahu, dosen-dosenmu taktahu tapi Allah melihatmu. Baca, baca dan bacalah, suatu saat nanti ilmu yang kamu dapat bermanfaat untuk orang-orang di sekelilingmu, apakah itu suamimu atau yang lain” kata-kata bu Hayati seberti bunga bermekaran di hatiku pada musim semi, indah sejuk mengalun dalam nadi aku ingin merekamnya hingga bisa kuputar berulang kali.

Hari ini tak bisa kumengelak pelajaran kowaid alias tata bahasa Arab dengan nahwu sorofnya. Pelajaran yang tak jauh kalah mumetnya dengan Matematika seperti saudara kembar, oh kenapa aku mengeluh saja. Elsa Top five di kelasku rupanya tahu maksud kedatanganku menghampiri tempat duduknya. Mulailah kurangkai beberapa baris kata dan syakel, otaknya seperti kilat. Dia mampu menganalisis kesalahan yang melekat pada kalimat-kalimatku.

Tapi pikiranku melalang buana kala itu, “Apakah kamu mengenal Gayus Tambunan?”

“Apa?” matanya yang besar melototiku, kukira aku salah bicara tak nyambung juga dengan pertanyaan kowaid yang sedang kami bahas.

“Iya Gayus Tambunan, Rambut Palsu” Aku mempraktekkannya

“Aku tak mengenalnya”

“Minimal kau tahu siapa dia”

“Aku tak mengetahui siapa dia”

Oh, Dear! Dia tak tahu Gayus Tambunan yang terkenal itu, kemana Elsa selama ini. Mungkinkah dia hanya belajar bahasa Arab tanpa mau melirik dunia luar. Berjibaku hanya dengan pelajaran, Pikirannya terlihat transparan kala itu, setransparan pikiran para politikus negri ini yang akan menggembalikan modal kampanye ketika terpilih dan duduk di kursi kekuasaan, setelah modal terkumpul saatnya memperkaya dirijurus wirosableng 212.Aku tertohok, orang sepandai dia di kelas tidak up date.

“Memangnya kenapa”

“Tak mengapa, santai saja. Kukira kamu akan menghadiri acara Diskusi Ilmiah para Intelektual kampus tentang perkembangan perpolitikan Islam.”

Kumenelisik diriku, hanya satu kata Formula untuk semua waktu yang telah terbuang untuk mencarinya. CINTA aku belum mencintai bahasa Arab, aku tak all outkarenamerasa tertekan. Dosen-dosen berkwalitas Timut tengah yang sarat akan ilmu seakan membuka tabir ketika aku berada dalam semester tiga. Kala itu aku mendengarkan bu Pujiatun berbicara bahasa Arab ku mendengarkan dengan seksama, setelah pelajaran di tutup kumendekat pada sari.

“Ukhty, saya tak menyangka bu Pujiatun bicara bahasa Indonesia campuran. Seakan bahasa Arab mudah, itu memang perlu waktu.”

Aku terkadang melamun sendiri di tengah pelajaran, bertahmid padaNya

“Ya Allah, saya mengerti apa yang mereka bicarakan.” Seakan terbayar sudah, meski hanya secuil. Bangun malam, jadwal berantakan hafalan. Belum mengetahui formula. Kapan harus belajar menulis, membaca, menghafal. Pastilah berbeda cara belajar seseorang dengan yang lain. Tak kusangka aku berhasil membujuk diriku, hingga level ini. Ilmu membutuhkan cinta, kerja keras, kerja cerdas. Sesuatu yang taklangsung bisa diberikan begitu saja, harus ada yang mau memberi dan menerima hingga keduanya menikmati sepenuh hati. Nikmat itu terasa saat di kecap, makanan terasa enak saat di mulut, proses itu indah.

Awalnya mungkin tuntutan berubah menjadi hobi bermetamorfosis menjadi karena ilahi. Sungguh indah. Konsisten menggapainya, meski aku belum begitu hebat kukabarkan pada mas Nur Huda Tompel kalau sekarang aku bisa berbahasa Arab meski terbata-bata. Tapi lebih dari itu, aku sudah berani mencoba. Kukabarkan pula padanya buku Felix Siaw berjudul “Habits” untuk hadiah hari jadiku yang ke 19 darinya sangat bermanfaat. Terimakasih masku Turki menantimu.

*

Senin 13:30 jadwal E-Club terpampang, sepulang dari kursus Median mahasiswa Fakultas Agama Islam yang mengikuti kursus yang sama menyodoriku sebuah kertas warna biru, wajahnya seperti biasanya tak berekspresi hanya ketika beretorika saja wajahnya akan berubah. Aku tak sempat membukannya. Kubawanya pulang surat itu, tertulis beberapa huruf kanji.

Jika teringat perkenalan pertama dengan median rasanya juga lucu dan menggelikan, seperti biasanya Pusat Komunikasi kampus yang ramai akan mahasiswa menjadi tempat setrategis. Median bukan penjaga LAP tapi penggunjung tersering yang pernah kudapati. Suaraku parau karena flu, tak bisa menahan batuk yang meronta-ronta. Dia melihatku dari kejauhan, lalu rasa kasian menghampirinya. Median menyodoriku sebuah botol minumberlogo sepak bola dunia. Hanya dia seorang laki-laki yang membawa minum.

Kulihat jelas-jelas hurufitu, tak mengerti juga apa arti tulisan jepang yang tertulis rapi.

“Mending kamu memakai sandi morse untuk menulisnya, aku paham jadinya.” Dengan mengenang masa-masa jambore dulu. Pikiranku melesat pada Hesti, kakak baruku itu pasti tahu makna yang tertulis didalamnya. Di sekolah Hesti dulu mengambil jurusan pariwisata dan pelajaran bahasa jepang yang di gandrunginya.

“Kak bisa bantu aku terjemahkan ini” sebuah lembar surat biru terhunus dari buku berwarna hijauku yang selalu kubawa kemana-mana. Yap aku pelupa, hingga jadwalku biasanya kutulis.

“Apa ini?, oh... dari siapa nih?” senyumnya itu..

“Apa kak tulisannya? Jadi penasaran”

“Teman cowok atau cewek”

“Sudahlah kak, ayo jawab”

“Iya, dia ingin mengenalmu”

“Ah, bisa saja”

“Dek, apakah kau mempunyai indra yang lengkap dan otak yang sehat?” mengalihkan pembicaraan atau mengajak bercanda orang ini.

“Punya”

“Fakta yang jelas” Hesti mengibaskan surat Median didepanku.

“Lalu kenapa kamu nggak tahu arti dari huruf kanji ini?”

aku : hanya termenung. Teringat ketika belajar pertama kali bahasa Arab dulu ”Lalu kenapa kak?”

“Kamu melupakan satu hal dalam komponen berfikir, yaitu pengetahuan sebelumnya akan fakta yang ada”

Aku merasakan sekali lemahnya sebagai makhluk, seketika itu Hesti mengajakku berpikir. Akan sosok Tuhan “Aku mempunyai indra yang lengkap dan otak yang sehat, fakta yang ada di hadapanku perupa alam, manusia dan kehidupan. Tapi aku tak pernah mendapatkan pengetahuan sebelumnya akan sosok Tuhan, bagaimana bentuk dan rupaNya. Wajar saja aku takbisa melihatnya, dan tentulah Dia berbeda dengan makhluknya. Dan jikalau Dia sama dengan makhluk pasti tak bisa dikatakan Tuhan. Kita tak dapat melihatnya tapi merasakannya” Ucapan mengesakan Allahpun keluar dari mulut, hati dan otakku.

“Kau mengaguminya adikku, median”

Aku : hanya bisa tersenyum

“Kakak harap cintamu seindah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, bukan seperti Salman al Farisi”

Aku membanting haluan pembicaraan kala itu, “Kak, suatu hari nanti jika kamu ingin pergi jauh. Sempatkan sedikit waktumu untuk membuatkanku sebuah cover buku. Agar aku bisa mengenangmu dan membingkai tulisanku dalam sampulmu. Aku bangga mengenalmu.” Mataku berkaca-kaca.

“Iya aku juga banga punya adik sepertimu, aku manusia seperti wanita-wanita lain yang tak terlepas dari salah dan dosa” tatapannya melukiskan kehangatan.

Impian kami menjadi penerjemah tersumpah dan menerjemahkan buku-buku Asing berkwalitas sehingga bermanfaat bagi teman-teman di Nusantara. Kerena takmungkin kami bekerja menjagi guide, disamping kami memakai kerudung dan jilbab tak mungkin lagi berdua-duanan dengan yang non mahram.

Kini bahasa Arab dan pengetahuan akan Islam seperti api dan cahaya bagiku. Aku tak dapat menahan panasnya hingga ingin kusebarkan pada yang lain dan cahaya itu, aku ingin mereka melihat keindahan islam yang terang benderang. Islam bukan Dogma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline