Lihat ke Halaman Asli

Anomali Penolakan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1336759588184641090

Menjelang akhir Maret 2012 lalu kertas posisi hasil pemantauan Kelompok Kerja (Pokja) Pantau REDD Sulawesi Tengah telah diserahkan ke UN-REDD Indonesia di Jakarta. Pokja Pantau REDD merupakan gugus kerja yang dibentuk oleh beberapa elemen masyarakat tak lama setelah REDD di Sulteng diluncurkan, Oktober 2010.

Pokja ini dibentuk untuk mengawasi jalannya program yang dilaksanakan Pokja REDD bentukan Pemerintah Daerah. Dalam berkas tersebut, Pokja Pantau mengungkap beragam temuan fakta, kondisi, dan tanggapan masyarakat terhadap rencana program REDD.

Seperti yang telah diketahui, REDD (Reduction Emission from Deforestation and  Forest Degradation), merupakan salah satu skema yang disepakati oleh dunia internasional sebagai solusi perubahan iklim atau pemanasan global. Program ini menitikberatkan pada penyelamatan hutan dan pengembalian fungsi hutan sebagai penetralisir emisi berbahaya. Beberapa negara maju termasuk PBB lewat UN-REDD mengalokasikan jutaan dolar Amerika untuk membiayai skema ini. Saat ini proyek percontohan sementara berlangsung di beberapa daerah untuk menyiapkan pemberlakuan REDD akhir 2012.

Terdapat satu Anomali dalam fakta yang diungkap oleh Pokja Pantau. Masyarakat Dampelas – Tinombo menolak konsep FPIC. Penolakan ini berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap penetapan sepihak Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) oleh Menteri Kehutanan tahun 2009. Masyarakat mengklaim KPH merupakan bagian dari persiapan program REDD. Tentu hal ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak yang terlibat dalam pilot projek REDD di wilayah ini.

Konsep FPIC sebenarnya dibangun untuk menjamin hak seseorang atau sekelompok orang atas perogram yang akan dilaksanakan. Dalam bahasa Indonesia konsep ini kemudian di sebut Persetujuan dengan informasi awal dan tanpa paksaan (PADIATAPA).

Dengan pengertian tersebut, jelas penolakan menjadi sebuah keanehan. Disaat organisasi pemerhati lingkungan dan Hak Asasi Manusia nasional maupun internasional berjuang keras memasukkan konsep ini dalam skema Safeguard, masyarakat Dampelas – Tinombo malah menolak.

Mari kita telisik lebih jauh. Dalam kertas posisi, Pokja Pantau banyak mengungkap kerumitan, kejanggalan bahkan ke-lucu-an sistem kelolah tanah dan wilayah hutan di Sulteng. Bagaimana tumpang tindih izin usaha tertumpuk pada satu wilayah, dikeluarkan oleh kepala daerah yang sama dalam periode yang sama. Bagaimana Taman Nasional Lore Lindu membatasi ruang gerak masyarakat. Atau keberadaan Suaka Marga Satwa Pati-Pati di Desa Toiba, Kecamatan Bualemo, Banggai yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah Daerah maupun Nasional.

Penetapan wilayah kelolah tersebut tak satu pun melewati proses FPIC. Lantas mengapa masyarakat justeru menyalahkan FPIC.

Terdapat kekhawatiran bahwa beberapa pihak yang terlibat pilot projek belum memahami penuh prinsip REDD dan FPIC. Proses sosialisasi, dan pengambilan keputusan tidak bisa dilaksanakan dalam waktu 1 atau 2 hari. Masyarakat perlu memahami betul esensi dari program dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan mereka.

Munculnya opsi lain selain FPIC atau PADIATAPA semakin memperrumit keadaan. Meninggalkan prinsip FPIC dalam ketidakpahaman dan mengganti dengan tools yang lain menjadi wacana mengkhawatirkan dalam pelaksanaan REDD.

Saya teringat pernyataan Marcus Colchester, saat wawancara dengan Yayasan merah Putih 2010 silam. Meski bukan satu-satunya tools pengaman dan harus ditunjang oleh Safeguard, namun menurut Direktur Forest Peoples Programme (FPP) ini penerapan FPIC sangatlah penting dalam meminimalisir pelanggaran HAM saat pelaksanaan program.

Di tempat asal FPIC, yakni dunia kesehatan, menurut Marcus, konsep tersebut telah teruji dan efektif untuk menjamin hak pasien. Sebelum dokter melakukan operasi penanganan kesehatan, pasien mesti diinformasikan cara penanganan, dampak dan waktu operasi. Selanjutnya pasien berhak untuk setuju atau menolak.

Dengan kenyataan ini, semua pihak mesti memahami bahwa FPIC bukanlah konsep baru dan bisa secara elastis dimodifikasi sedemikian rupa. Ia adalah konsep baku yang memiliki indikator hasil yang jelas dan mesti dicapai.

Persetujuan masyarakat, berdasarkan informasi penuh yang mereka dapatkan menjadi kunci utama pelaksanaan program, tanpa hal itu – dalam konsep FPIC – program tidak bisa dilaksanakan.

“Masyarakat jadi bertanya-tanya. Karena sebelumnya tidak ada informasi, tau-tau sudah ada patok-patok tata batas. Kalu kondisinya seperti itu, masyarakat bisa jadi resah. Mereka khawatir, pasti lahannya bisa diambil menjadi kawasan,” (Media Alkhairat 28 Maret 2012)

Pernyataan Rusdin, tokoh masyarakat Dampelas, diatas menjadi bukti, secara prinsip masyarakat menolak penetapan dengan “cara-cara lama” bukan FPIC. Sepertinya dalam hal ini Pokja REDD mesti berlaku lebih arif dan tidak lagi melakukan kebiasaan mendiskon waktu.

___

Ciputat, 10 Mei 2012

Gambar: http://www.forestfinance.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline