Lihat ke Halaman Asli

Palu Ngataku

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_279440" align="alignnone" width="200" caption=" "][/caption]

Aku pernah menyesal berada dalam pelukannya. Saat itu aku telah banyak melihat pelukan lain yang lebih hangat, lebih nyaman. Ketika pandanganku tak lagi terbatas pada apa yang mewujud di depan mata, ku tahu ada pelukan lain yang lebih baik. Itulah saat dimana aku tak ingin menjadi diriku, mendebat Tuhan tentang keputusan-Nya.

Mengapa...?

Padahal...!!!

Mestinya...!!!

Itu sebabnya...!!!!

Seandainya...

Argumentasi kacangan bermunculan. Menjadi pupur menutupi kekurangan diri.

Mencermati dan memilah segala kekurangannya, menggugah segala keterbatasannya.

*

Menginjak lima tahun pertama melek aksaraku, aku merasa pelukannya adalah yang terbaik. Segala tentangnya adalah indah. Mungkin karena ukuran keindahanku sangat standar saat itu.

**

Kini,  saat usiaku menginjak pertengahan dekade ke tiga, aku pun kembali mengagumi pelukannya. Tak pernah sehangat ini, bahkan.

Padahal standar keindahanku sudah eksklusif bahkan elegan saat ini.

Tidak konsisten.... Entahlah.

Mungkin hidup mesti berdinamika seperi itu.

***

Di sini... kehangatan itu terlihat dari sini... tempat dimana aku berdiri...

Palu, ternyata hangat pelukmu telah lama ku abaikan....

_

Tanah Kaili, 05 Oktober 2010

Foto: Koleksi Pribadi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline