Lihat ke Halaman Asli

Lentera Pustaka

Pegiat Literasi dan Taman Bacaan

Jangan Panggil Saya Profesor, Catatan untuk Pak Fathul

Diperbarui: 21 Juli 2024   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com

"Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan "prof." Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun," demikian tulisan di unggahan akun medsos @fathulwahid_ Kamis (18/7/2024).

Salut dan bangga, atas apa yang dinyatakan Pak Fathul Wahid sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia (UII). Bahkan, ia menerbitkan surat edaran di lingkungan kampusnya agar seluruh gelarnya tidak dicantumkan di dalam surat resmi kecuali tanda tangan ijazah dan transkrip nilai mahasiswa. Jangan panggil saya profesor, cukup panggil nama saja. Kira-kira begitu maunya Pak Fathul.

Sebenarnya sangat sederhana untuk memahami cara berpikir Pak Fathul. Di kalangan perguruan tinggi, profesor itu jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di kampus. Sebutan lain di kampus sebagai guru besar. Maka bila profesor adalah jabatan fungsional tertinggi di kampus, berarti profesor itu bisa dianggap pangkat paling "mentok" sebagai dosen di kampusnya (Silakan cek di UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen).  

Jadi profesor ya tetap saja sebagai pegawai kampus, cuma jabatan fungsionalnya yang paling tinggi. Sudah begitu doang. Jadi, profesor itu bukan "status sosial" bukan pula sebutan publik tapi terbatas di kalangan kampus. Mau profesor apapun, bila sudah di luar kampus, ya tetap saja manusia biasa alias orang biasa. Sudah benar, jangan panggil saya profesor cukup Pak Fathul, kira-kira begitu.

Hal yang sama di perusahaan swasta di pekerja kantoran. Selain ada jabatan, pasti setiap pegawai punya pangkat kan? Ada yang supervisor, ada yang manajer, ada yang vice president. Itu semua pangkat di kantor atas jabatan yang diembannya. Misalnya, seorang pegawai berpangkat "manajer" yang menjabat sebagai "kepala bagian pemasaran". Jadi, tidak ada alasan membawa-bawa sebutan pangkat "supervisor", "manajer" ke ranah publik. Apapun levelnya, itu semua pangkat dan jabatan yang sebatas di lingkungan kantor. Maka profesor pun begitu, sama saja. Oke?

 

Publlik dan kalangan kampus sendiri harus memahami. Bahwa profesor itu jabatan fungsional atau pangkat yang berlaku di kampus. Sama di perusahaan swasta pun ada pangkat dan jabatan. Jadi tidak usah bawa-bawa sebutan profesor atau gelar lainnya ke ranah publik. Dan khusus untuk profesor itu identik 1) seseorang yang punya keahlian dan kepakaran dalam bidang/ilmu tertentu dan 2) posisinya mengajar di kampus. 

Profesor itu seorang pakar atas ilmunya, guru senior, atau dosen yang gemar meneliti. Lalu sekarang, ada tren pejabat dan politisi mengejar jabatan profesor dengan menghalalkan segala cara. Mari kita bertanya, apa pantas? Jadi, publik atau kampus pun harus sadar. Jangan halalkan segala vcara untuk menyematkan profesor pada seseorang, apalagi yang aspek keahlian atau kepakarannnya secara akademik patut dipertanyakan?

Dalam ilmu bahasa, dikenal istilah "gaya selingkung". Yaitu gaya berbahasa yang terbatas pada satu lingkungan, tidak berlaku di publik. Gaya selingkung pun berkaitan dengan sebutan atau istilah yang terbatas dan disepakati pada satu lingkungan tertentu. Seperti sebutan "Prof" untuk profesor hanya sebatas di kampus. 

Sama seperti "Ndan" untuk komandan di korps militer, "bos" untuk atasan di kantor, "dok" untuk dokter di rumah sakit atau "capt" untuk captain di profesi pilot. Jadi, sebutan "prof" itu sebatas dan disepakati di lingkungan kampus. Tidak usah dibawa-bawa ke ranah publik. Profesor juga kan masih naik angkutan umum, apa istimewanya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline