Karya: Muhammad Ghaizan Algifarry - kelas 10/2023-2024
Aku adalah satu diantara anak-anak yang berbeda. Aku tumbuh besar hanya dengan seorang Ibu. Bukannya tak punya Bapak, hanya saja ibu dan bapakku telah berpisah sejak aku berusia 5 tahun, sehingga tak banyak memori dan kenangan indah yang kumiliki bersama Bapak. Bagiku, Bapak ada dan tiada tak ada bedanya. Beliau ada tapi tidak pernah mengisi tempatnya sebagai seorang kepala keluarga. Kalau ada yang bertanya, apakah harus rindu dengan Bapak, aku pun bingung apa yang harus kurindukan dari sosoknya. Sesekali ia pernah datang untuk menjenguk aku dan adikku, tetapi rasanya aneh seperti asing, beliau terasa seperti orang lain. jujur, aku tak pernah meminta dilahirkan dengan keadaan ini.
Setahuku, Bapak berpisah dengan Ibu karena hubungan keduanya tidak lagi harmonis. Ibu sudah lelah dengan tingkah Bapak yang sering bermain-main dengan wanita, hingga pada suatu hari Ibu benar-benar ikhlas melepas Bapak dan bertekad untuk mengurus kedua anaknya seorang diri. Ibu adalah wanita yang kuat, beliau menghadapi titik sulit dalam hidupnya sendirian. Baginya, aku dan adikku, Kanala, merupakan segalanya. Aku ingat betul bagaimana keluarga Ibu malah mencampakkannya ketika beliau berpisah dengan Bapak, tidak satupun sanak saudara yang menolong kami karena takut ikut kesusahan. Hanya nenekku yang setia menemani Ibu hingga akhir hayatnya.
Bapak sempat mengajak Ibu untuk rujuk sebanyak dua kali, yang pertama ketika aku tengah mengenyam pendidikan di bangku SMP dan yang kedua saat baru masuk SMA. Ibu dan Bapak hampir menikah lagi di percobaan rujuk yang pertama tetapi semuanya gagal karena Bapak kembali berbuat ulah. Aku yang semula mulai merasakan kehangatan keluarga utuh yang sebelumnya tak pernah kurasakan, kembali harus menelan kenyataan pahit dalam hidup, nyatanya kebahagiaan belum berpihak kepadaku. Ibu selalu mengajarkanku menjadi seorang wanita yang kuat, begitulah aku harus kuat, demi menjaga Ibu dan Kanala yang kini masih sekolah. Pengalaman Bapak dan Ibu membuatku tidak tertarik dengan hubungan asmara, sukses adalah cita-citaku yang utama.
Sudah dua tiga tahun berturut-turut Bapak selalu datang ke rumah kami saat lebaran, katanya ingin menghabiskan waktu bersama aku dan adikku. ketika mendengarnya aku sedikit ingin tertawa. Apa menurutnya semua tidak terlambat? Kemana Bapak selama ini? Bapak meninggalkan kami ketika Bapak sedang berada di puncak kehidupan, kala itu tidak ada yang tidak dapat dimilikinya. Kemudian aku tahu bahwa bisnis Bapak perlahan menurun tiga tahun belakangan dan beliau sering sakit-sakitan. Barulah ia sadar bahwa hanya aku dan adikku yang dapat mengurusnya di masa tua. Aku selalu saja tak suka, lelaki itu hanya melimpahkan kesusahannya pada kami, memberi nafkah pun tidak. Ya, sejak Ibu dan Bapak berpisah, kalian mungkin dapat menghitungnya dengan jari berapa kali Bapak mengirimi ibu uang. Aku pernah beberapa kali menghubunginya untuk meminta biaya sekolah adikku, tapi nihil tak pernah ada hasil. Bingung, karena Ibu yang berjuang sendiri pun masih sanggup menghidupi aku dan Kanala, sementara Bapak juga seorang diri tapi tidak bisa melakukan itu. Mungkinkah Bapak yang tinggal jauh disana telah memiliki keluarga baru? Katanya sih tidak.
Ini tahun ketiga Bapak datang. Lelaki itu bertubuh tinggi, kurus habis karena penyakit gula yang dideritanya. Bapak datang sendirian mengenakan baju berwarna putih dan celana panjang cokelat, "Assalamu'alaikum," ucapnya ketika tiba di depan gebang pintu rumah kami.
Dengan langkah terjuntai aku berjalan ke depan untuk membukakan gerbang, malas sekali menyambutnya tetapi Ibu selalu mengomeliku jika aku bersikap semena-mena pada Bapak. "Wa alaikum salam." jawabku, sambil membukakan pintu gerbang.
"Raina anak Bapak sudah besar, sekarang kelas berapa nak?" ucapan yang selalu dikatakannya ketika melihat aku dan entah kenapa selalu membuatku kesal karena Bapak selalu menanyakan hal yang sama hingga kini aku sudah tamat sekolah.
"Rina sudah lulus, Pak. Sekarang kuliah semester 3," jawabku dengan nada yang tegas.
Mendengarnya, Bapak hanya tertawa kecil, respon yang aneh dalam pandanganku. Aku mengantarnya masuk ke dalam rumah, di ruang tengah ada Kanala yang sedang asyik menonton televisi.
Sedikit berbeda denganku, Kanala lebih ramah kepada Bapak. Mungkin karena dia masih sangat kecil saat Bapak dan Ibu berpisah sehingga dia tidak terlalu mengingat kenang-kenangan buruk miliknya.