Kembali duduk didepan laptop ditemani secangkir teh kental gula batu, setelah terkapar lemah tak berdaya bahkan sekedar menusukan jarum halus menerapi diri sendiri, hanya bisa mengambil lancet dan mengeluarkan sedikit darah untuk mengurangi lembab panas lambung. Lalu berbaring lagi sambil menahan sakit yang bertubi-tubi menyerang daerah leher dan kepala. Malam ini udara begitu segar sehabis gerimis siang tadi, sebaiknya aku bakar dupa aroma terapi mengharumkan ruangan ini.
Kau berdiri disudut mata lagi, baiklah "wahai" silahkan duduk tapi jangan membuatku takut. Apakah gerangan yang ingin kau sampaikan?" kataku lagi. Dia tersenyum ramah, wajahnya putih bersih, segar bercahaya, masih diam saja, " aku sedang belajar untuk memperdalam pengobatan tradisional, meski sekarang pemerintah membatasi ruang gerak kami" kataku sambil menghela nafas. " Kau tau, seperti saat ini, kecurigaanku adalah ada sedikit gangguan di daerah otak sehingga aku dapat melihat dan merasakanmu, begitu kata pelajaran kemarin" kataku lagi. Dia tersenyum teduh, "bicaralah, jangan diam saja, katakan apakah aku sakit?' kataku lagi. "Bukankah sedari kemarin sudah kukatakan, aku datang memberi peringatan hal yang kurang baik datang, dan tadi aku membangunkanmu, walaupun aku tau kau sedang sakit, dan apakah tidak kau rasakan kehadiranku ini nyata bagimu? sedangkan beritaku bukanlah isapan jempol belaka, hadir sesuatu yang membahayakanmu tadi, benar?? katanya sembari senyum.
Sore ini aku terbangun dengan kepala dan leher yang begitu sakit dan aku harus terbangun lalu berjalan ke ruang kerja, ketika membuka pintu disambut ular Cobra yang sudah berdiri tegap, rupanya aku kedatangan tamu tidak diundang yang berbisa, sang Cobra siap menyerang, aku ambil sapu lidi bergagang bambu, ular itu berusaha lari lalu sembunyi dibalik kardus dan aku angkat kardus itu lalu ia lari keluar dan aku pukul tepat dikepalanya.
"Dan ular itu mati tanpa perlawanan kan?" katanya lagi. " Ya, ular itu memang mati tanpa perlawanan" kataku lagi. Lalu apa yang ingin kau sampaikan?" tanyaku. Tiba-tiba berdesir angin dingin menerpa wajahku, memang ruangan ini tanpa penutup jendela, angin mudah saja masuk, mataku memejam sejenak sambil menunggu dia menjawab pertanyaanku. Dia tetap diam menatapku dengan senyum, lalu sudut matanya mengerling menunjukan abu yang tertiup angin tadi dan jatuh diatas kertas nota dihadapanku, dia berdiri dan berlalu.
"Hey...hey....jangan pergi dulu, kita belum selesai bicara" kataku padanya. Tapi dia tetap pergi dan aku hanya tertegun sendiri, hmmm...ada apa dengan otakku ini? Lalu kembali aku ke catatan di laptop, aku membaca lagi.
Lelah membaca kuseruput teh hangat gula batu, rasa nikmat luar biasa setelah lemas tadi sore. Aku melirik keatas kertas yang terkotori abu tadi, aku amati, sepertinya acak-acakan tapi lama kelamaan seperti sebuah tulisan ranting pohon, lalu aku berusaha mengejanya " S l m a t n m r k " apa ya....pikirku lagi dan ohhh...." SELAMATKAN MEREKA"
Siapa mereka?
Diselamatkan dari apa?
Apa yang harus aku lakukan?
Puzzle lagi-lagi puzzle
Bandung, 29 Mei 2016 (bersambung)