Lihat ke Halaman Asli

Baper AADC 2 (Sebuah Puisi)

Diperbarui: 11 Mei 2016   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

AADC 2, film indonesia yang sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan pecinta film terutama oleh generasi pemuda-pemudi 2000-an. Saya yang juga penggemar AADC 2 pun ikut baper dan rela antree panjang demi selembar tiket. Ya.. hanya selembar, kasihan saya.. saya nonton sendirian XD. Namun sudahlah yang penting saya bisa nonton (walau sendirian) dan secara personal sangat puas dengan film tersebut.

Sebenarnya saya sudah ingin menulis ini sejak lama, hanya saja saya takut diblok sama mba Dian (haha becanda mba) namun sepertinya saya baru ada kesempatan untuk menulis kembali dikompasiana. Haru, tawa, sedih, senang, dan banyak perasaan yang tercampur dan berganti terus menerus dalam scene-scene yang tergambar dilayar bioskop. Perasaan saya seperti naik rolercoster, naik-turun, memontonnya, bahkan dalam salah satu scene yang serius pun seisi gedung bioskop tertawa gara-gara ada yang nyeletuk 14 tahun ketika Rangga bilang ke Cinta 9 tahun kita berpisah.

Menonton AADC baik itu yang pertama maupun yang kedua sesungguhnya seperti menonton diri sendiri. Dulu yang pertama dengan permasalahan remaja dan menyelesaikannya dengan keremajaannya, dan sekarang di AADC 2 permasalahan orang dewasa dengan kedewasaan cara menyelesaikannya. Mungkin itulah yang membuat AADC menjadi film yang fenomenal dan begitu dekat dengan penontonnya. Cerita yang sederhana menjadi kekuatan yang menjadikannya sebagai film yang sangat dekat dengan penontonnya. Sebuah film yang menjadikan penontonnya serasa menonton diti sendiri.

Dan gara-gara film ini, keluar dari gedung bioskop saya jadi ikutan nulis puisi juga, sebuah puisi yang seperti halnya Rangga dan Cinta dalam film ini, menceritakan keinginan untuk bertemu dengan mantan demi berdamai dengan masa lalu.

Pelangi 11/05/16

Untuk Kalian

Titik-titik gemintang yang kupandang di langit malam

Membawaku pada cerita-cerita yang telah lama terpendam

Memori yang sering mengusik, mempertanyakan alasan kesendirian

Sekali saja...

Aku ingin kita duduk bercerita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline