Telah lebih dari dua pekan Hari Raya Idul Fitri usai, dan sejak saat itu Ibukota kembali 'disesaki' oleh kaum pendatang, baik pendatang lama ataupun pendatang baru yang ingin mencoba peruntungan nasibnya di Jakarta. Momentum seperti ini bukan hanya menjadi fenomena dalam isu kependudukan, namun juga bersentuhan langsung dengan masalah penataan ruang di Ibukota.
Menyoal kedua masalah ini berarti membahas mengenai kemerataan pembangunan di Indonesia, dan dua hal yang dapat dijadikan tolok ukur apakah pembangunan di Indonesia sudah adil dan merata yaitu; pertama, apakah penduduk di desa sudah merasa sejahtera sehingga mereka merasa nyaman untuk tinggal dan bekerja di desa, serta kedua, apakah pemerintah sudah membangun kawasan perdesaan secara berimbang dengan kawasan perkotaan.
Indonesia sendiri sebagai Negara yang sedang berkembang, telah mengalami proses urbanisasi yang sangat masif sejak tahun 1990an. Pada era tersebut, jumlah penduduk perdesaan menurun drastis karena banyak yang melakukan mobilisasi ke kota. Hal ini seakan diaminkan dengan fakta bahwa saat ini setengah dari jumlah total penduduk Indonesia tinggal dan mendiami wilayah perkotaan.
Senada dengan hal ini, Bank Dunia juga melakukan estimasi pada tahun 2016 mengenai kondisi populasi perkotaan yang makin 'gemuk', menurut Bank Dunia, jumlah populasi kota akan meningkat tajam pada tahun 2050, yakni sebesar 67% penduduk akan tinggal di perkotaan dan hanya 33% penduduk yang bertahan di perdesaan. Kajian yang dilakukan tentu bukan sekedar kajian dangkal, karena seperti yang kita ketahui bersama, wilayah perkotaan memiliki magnet kuat bagi masyarakat. Kota dengan segala ketersediaan infrastruktur yang lebih memadai, ketersediaan lapangan kerja, bahkan 'iming-iming' akan peningkatan mutu hidup membuat banyak orang tertarik. Hal inilah yang membuat lebih dari 70.000 penduduk desa berpindah ke ibukota pada momen pasca Lebaran tahun 2016 lalu (BPS Jakarta, 2016).
Isu Kependudukan dalam Penataan Ruang di Skala Internasional
Senada dengan Indonesia yang sibuk berbenah dengan isu perpindahan penduduk, Negara berkembang lain seperti Cina dan India ternyata juga sedang mengakomodir isu serupa. Kedua Negara ini bahkan seperti 'berpacu' untuk dinobatkan sebagai Negara dengan populasi terpadat di dunia. Tercatat, jumah penduduk di Cina pada medio 2017 mendekati angka 1,4 miliar jiwa dan hampir 60 persen dari jumlah penduduk tinggal di perkotaan. India pun saat ini memiliki angka fantastis dalam hal jumlah penduduk, yakni sebanyak 1,3 miliar jiwa. Dari data tersebut terlihat jelas bahwa dikotomi desa -- kota merupakan masalah serius di Negara berkembang.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Direktur Divisi Populasi PBB, John Wilmoth, pada "World Population Day" tahun lalu, bahwa 'pertumbuhan dan perpindahan penduduk di Negara-negara berkembang memiliki tantangan yang sangat besar, dan penyebabnya adalah kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan dan penataan ruang yang buruk'. Jika masalah tata ruang bersinggungan langsung dengan isu kependudukan, lantas mengapa sampai sekarang belum terselesaikan?
Belum Terintegrasinya Perspektif Kependudukan dan Penataan Ruang
Melihat permasalahan ini dari kacamata kependudukan serta penataan ruang, maka bisa dikatakan keduanya belum terintegrasi dengan baik. Masalah kependudukan yang sedemikian kompleks mulai dari perpindahan penduduk, kemiskinan, belum maksimalnya pengelolaan sumber daya manusia, masalah kesehatan dan reproduksi, polemik sosio kultural, masalah lansia, dan yang paling signifikan tentang ketersediaan lahan pemukiman yang memadai bagi penduduk kian menjadi pusaran persoalan di riuhnya Ibukota.
Menarik benang merah atas isu kependudukan dan penataan ruang, maka mayoritas orang akan mengatakan bahwa proses urbanisasilah yang menjadi pemicu sesaknya Jakarta. Padahal, jika dipahami secara mendalam sesuai disiplin ilmu kependudukan, urbanisasi bukanlah perpindahan penduduk dari desa ke kota, namun urbanisasi sendiri memiliki pengertian sebagai presentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (Tjiptoherijanto, 2008). Proses perpindahan penduduk tersebut hanyalah salah satu penyebab dari urbanisasi. Kekeliruan inilah yang harus diluruskan sebelum mengkaitkan kedua isu ini.
Semakin besar presentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan berarti kota harus ditata dengan semakin baik dan juga berkelanjutan. Pemerintah telah mengklaim bahwa ada tiga pencanangan aksi terkait hal ini, mulai dari semakin menajamkan regulasi tentang rencana tata ruang, merencanakan pembiayaan mandiri untuk wilayah perkotaan dan membuat perencanaan urbanisasi yang komprehensif. Namun ini dinilai belum optimal karena (1) belum adanya partisipasi masyarakat ketika pemerintah membuat kebijakan penataan ruang (2) analisa kependudukan dalam rencana tata ruang masih dianggap belum penting oleh pembuat kebijakan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pembuat kebijakan terkadang masih 'sumir' dalam memaknai urbanisasi, sehingga terkadang perencanaan perkotaan yang dibuat tidak dapat menampung jumlah penduduk yang sering melakukan mobilisasi.