Sudah lebih dari 4 bulan jutaan manusia tersihir oleh pertunjukan nyata (realty show) di Panggung Politik yang berjudul PILPRES 2014. Episode PILPRES 2014 ternyata bisa meroket menduduki rating teratas mengalahkan semua pertunjukkan yang ada di Negara ini. Perhatian Bangsa ini terhadap gawe Pemerintah 5 tahunan ini begitu luar biasa, mungkin hanya PEMILU 1955 yang bisa disetarakan dalam hal keterlibatan emosional masyarakat.
Banyak yang berpendapat kesuksesan PILPRES 2014 ini dalam menarik perhatian masyarakat disebabkan Calon Presiden yang berkompetisi hanya 2 orang dan memiliki karakter, postur serta Curriculum Vitae yang bertolak belakang. Dalam hal basis pendukung masing-masing CAPRES secara kuantatif hampir sama jumlahnya yang tersebar di seluruh wilayah NKRI dan luar negeri. Dua kubu kekuatan berhadapan frontal tanpa kubu penyeimbang.
Kondisi kompetisi tersebut membangkitkan militansi bagi masing-masing pendukung CAPRES untuk membela mati-matian CAPRES yang didukungnya. Teknologi Informasi telah mampu menghadirkan arena maya bagi Kubu-kubu Capres tersebut untuk bertarung secara maya.Pertarungan berlangsung sangat seru di media sosial hingga muncul istilah PANASBUNG (pasukan nasi bungkus) karena ada dugaan begitu massifnya pertarungan opini disebabkan oleh mobilisasi pasukan cyber. Di beberapa stasiun televisi berita juga dibuka arena pertarungan opini antar team sukses CAPRES beserta deretan panjang pengamat dan ahli-ahli yang terkait. Mungkin karena sudah terpuaskan bertarung di dunia maya masing-masing kubu tidak berminat untuk bertarung secara fisik di dunia nyata.
Sempat timbul kekhawatiran bahwa suasana rivalitas dengan suhu tinggi ini akan menimbulkan chaos dan disintegrasi. Masuk akal jika ada kekhawatiran tersebut karena kondisi geografis archipelago dengan keragaman suku, budaya, agama secara teori sangat mudah untuk terjadinya perpecahan. Tetapi kedewasaan Bangsa ini dalam menyikapi rivalitas ternyata luar biasa arif. Isu politik dan SARA yang ditebarkan oleh pihak-pihak tertentu ternyata tidak mumpuni untuk menggerakkan masyarakat menuju perpecahan. Bangsa Indonesia harus merasa bangga dengan kedewasaan sikap ini. Banyak negara berkembang masih belum mampu meredam kekacauan yang ditimbulkan karena perbedaan politik dan keyakinan.
Suasana rivalitas tersebut diyakini menjadi pemicu terjadinya sejarah baru dalam hal tingkat partisipasi masyarakat secara sukarela. Kata ‘sukarela’ perlu digaris bawahi karena sepanjang sejarah partisipasi masyarakat terjadi karena dilakukan mobilisasi baik oleh Pemerintah yang sedang berkuasa atau oleh Partai Politik. Voluntarisem atau Kesukarelaan adalah elemen paling radikal yang bisa menjadi modal kekuatan massa untuk tercapainya tujuan tertentu. Sukarela pasti ditimbulkan karena keyakinan fanatik terhadap suatu hal bukan karena pamrih. Mungkin ada juga yang berpendapat sukarela dalam Pilpres 2014 juga timbul karena perasaan antipati terhadap rival Capres yang didukungnya. Apapun alasannya kesukarelaan ini telah menjadi enerji yang luar biasa dan masif bagi masing-masing kubu Capres untuk mewujudkan strategi-strategi pemenangan mereka. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tingkat kesukarelaan pada Pilpres 2014 hanya bisa dikalahkan oleh para pejuang-pejuang di masa perjuangan menuju kemerdekaan Republik Indonesia.
Kesukarelaan atau keikhlasan tanpa pamrih selama ini telah menjadi langka, terutama dikalangan birokrasi pemerintahan yang imbasnya mempengaruhi masyarakat luas. Bahkan akan menjadi hal yang aneh dan kadang-kadang dicurigai apabila ada perorangan atau kelompok yang secara sukarela memberikan bantuan untuk kemalangan atau hal yang lain. Apalagi bantuan tersebut diperuntukkan untuk kelompok masyarakat yang berbeda agama, suku atau lingkingan sosial. Ada kecurigaan bahwa bantuan tersebut dilakukan sebagai pencitraan untuk mempengaruhi masyarakat agar meyakini hal tertentu.
Ranking nomor 3 sebagai negara paling korup sebenarnya mencerminkan bahwa bahwa tidak ada yang sukarela di Negara ini, semua ada pamrih. Bahkan slogan “wani piro?” menjadi sangat populer. Sulit bagi siapapun yang duduk di Pemerintahan untuk berhasil melaksanakan program-program kerjanya karena terbentur birokrasi berbelit-belit maupun apatisme dari masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa program pemerintah yang biasanya disebut “proyek” akan sukses mendapatkan anggaran jika dalam proses pengajuan anggaran sudah disiapkan imbalan-imbalan yang memadai untuk pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan, baik kalangan eksekutif maupun leglisatif.
Para pejuang yang memperjuangkan berdirinya Negara ini mungkin tidak pernah membayangkan bahwa pengorbanan sukarela mereka ternyata hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat. Sebagian besar Rakyat Indonesia masih berada pada alam “penjajahan” yang lain. Kemiskinan dan kebodohan adalah situasi yang dialami karena belum adanya kemerdekaan dalam mendapatkan hak-hak sepenuhnya sebagai Warga Negara Indonesia. Akar paling dalam terjadinya penjajahan modern tersebut adalah maraknya tingkat korupsi yang sudah melembaga dalam lingkungan birokrasi. Nyaris sulit dijumpai kalangan birokrat yang melakukan fungsinya dalam melayani kepentingan Rakyat secara sukarela sesuai Tugas Pokok dan Fungsinya.
Adalah suatu paradoks ditengah kemarau kesukarelaan Rakyat ketika dalam Pilpres 2014 ini kubu Capres secara terbuka membuka rekening untuk menampung sumbangan bagi pembiayaan kampanye. Ternyata sambutan masyarakat sangat luar biasa. Sangat mengharukan dikala seorang tukang batu dengan sukarela menyumbangkan satu hari upah harian dia. Tukang tersebut menyumbang bukan dari kelebihan pendapatan dia tetapi dari kekurangan dia. Satu hari upah mungkin berarti mengurangi jatah makan keluarga dia selama satu hari. Hal ini yang boleh disebut “pengorbanan” bukan hanya sekedar menyumbang.
Rupanya semangat sukarela dan pengorbanan masih ada di Negeri ini setidaknya diwakili oleh relawan-relawan yang secara sukarela menyumbang sesuatu dalam masa PILPRES. Sumbangan yang beragam dari uang, tenaga, pemikiran hingga sekedar turut berdebat di media sosial menunjukkan bukan hanya satu golongan masyarakat saja yang berpartisipasi aktif, tetapi multi golongan, vertikal dan horisontal. Semua mengklaim bahwa keterlibatannya adalah bentuk partisipasi bukan karena mobilisasi.
Kobaran semangat tersebut sebaiknya terus dipertahankan dan ditingkatkan bukan hanya pada saat PILPRES ini. Sangat penting bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk menjaga antusiasme masyarakat terhadap proses politik yang masih berjalan terutama dalam masa peralihan pemerintahan. Sebelum pengumuman hasil rekapitulasi semangat tersebut berkobar-kobar. Sekarang mungkin sudah sedikit meredup karena sudah diumumkan hasil rekapitulasi Pemungutan Suara Nasional. Jangan sampai api tersebut padam, harus segera disiram dengan minyak supaya kembali berkobar. Dan yang penting jangan salah menyiraminya dengan air. Sehingga diharapkan antusiasme Masyarakat dalam mengawal masa transisi pemerintahan tetap tinggi. Diharapkan dengan turut sertanya masyarakat dalam mengawal masa transisi maka terbentuknya susunan Pemerintah yang baru akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari Masyarakat.