Lihat ke Halaman Asli

Kisah dengan Bapak Mertua

Diperbarui: 7 Juli 2024   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Interaksi saya dengan mertua berlangsung 4 tahun (ibu) dan 8 tahun (bapak). Pertama kali berkenalan sekitar April 2006. Ibu wafat Februari 2010 dan bapak Januari 2014. Bagi saya, masa interaksi itu terlalu singkat. Banyak momen berkesan dengan keduanya, terutama bapak. Bapak berasal dari Bone dan Ibu dari Cilacap. Perawakan bapak tinggi besar. Pertama kali bertemu dengan bapak dalam suasana yang agak formal. Saya duduk layaknya bertamu dan mengobrol di ruang tamu bareng bapak dan ibu calon mertua.

Hari-hari berikutnya, saya mulai intensif datang ke rumah calon istri setelah pulang kerja. Saat pertama kali mengenal, bapak sudah pensiun dan waktunya lebih banyak di rumah.

Bapak aktif sebagai jama'ah di musholla dekat rumah. Kami sering berangkat bersama menuju ke musholla untuk sholat Maghrib dan Isya berjama'ah. Jika ada undangan tahlilan atau selametan dari warga, saya juga diminta bapak untuk menemani. Senang sekali bisa ikut sekalian kenal dengan tetangga-tetangga.

Tahun 2006 ada turnamen Piala Dunia sepak bola. Bapak suka sekali sepak bola. Sebagai penggemar sepak bola, momen ini tentu tak saya lewatkan untuk ngomongin sepak bola sama bapak. Yang saya ingat, bapak suka sekali tim Italia. Jadilah pembahasan tentang superioritas tim Italia menjadi topik utama obrolan kami, apalagi Italia saat itu berhasil menjadi juara dunia.

Tiket Kereta ke Cilacap

Setelah pernikahan, intensitas interaksi dengan bapak makin meningkat. Saya adalah mantu kedua bapak. Pernah ada satu momen yang masih saya dan istri kenang. Pada empat tahun pertama usia pernikahan, saya dan istri tinggal berjauhan dengan bapak. Kami di Jakarta Pusat, sedangkan bapak di Jakarta Utara. 

Pada suatu siang tahun 2008, bapak tiba-tiba datang ke rumah kami. Dari Jakarta Utara ke rumah kami, bapak naik kendaraan umum. Bapak mau ke Cilacap karena ada kerabat yang wafat di sana dan minta dipesankan tiket kereta. Waktu itu belum ada pemesanan tiket secara daring, berangkatlah saya ke Stasiun Gambir untuk memesan tiket kereta bisnis ke Cilacap. 

Penuh. Tak ada tiket lagi. Begitu pula untuk kereta argo. Bapak meminta saya untuk ke Stasiun Senen naik kereta ekonomi. Dari awal, saya dan istri tidak mau bapak naik kereta ekonomi karena pasti bapak tidak dapat kursi. Itu berarti bapak harus duduk di lorong atau bordes sepanjang perjalanan. Bapak tetap ingin berangkat saat itu juga. Saya memesan tiket kereta ekonomi dan bapak dapat tiket tanpa kursi. Benar dugaan kami. Setelah sampai di Cilacap, bapak cerita hampir sepanjang perjalanan duduk di bordes dengan alas koran.

Bapak dan Sepiring Nasi

Menurut cerita istri, bapak seorang pejuang keluarga. Pekerjaannya buruh pabrik yang harus menghidupi seorang istri dan sembilan anak. Bapak dapat dikatakan jarang makan enak atau porsi mahal. Pendekatan melalui makanan ini yang saya lakukan untuk dekat dengan mertua, terutama bapak. Saat belum menikah, saya sering membawakan bapak dan ibu makanan. Beberapa kali pula pada malam minggu, kami mengajak bapak dan ibu makan di restoran di mal. 

Kedekatan saya dan bapak mertua makin erat saat saya dan istri memutuskan mengontrak rumah dekat rumah bapak. Waktu itu bapak sudah setahun ditinggl ibu wafat. Rumah kami hanya beda RT. Salah satu media kedekatan saya dengan bapak juga terjalin melalui nasi. Bapak suka makan nasi dengan porsi besar. Itu pula yang menjadi pilihan bapak saat saya menawarkan sesuatu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline