Lihat ke Halaman Asli

Lena Sutanti

Mahasiswa

Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi Kedua di Asia Tenggara, Mahasiswa KKN Undip Melakukan Edukasi Pencegahan Perkawinan Anak

Diperbarui: 12 Februari 2023   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Wonogiri, 17/1/2023 - "Dia sebenarnya nggak mau tapi dipaksa menikah dengan laki-laki berusia 45 tahun. Mungkin karena ekonomi", ucap seorang ibu menceritakan kasus perkawinan anak di Desa Bero.


Perkawinan anak di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Usia minimal perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan, namun masyarakat masih menganggap wajar anak yang menikah di umur 18 tahun. Mereka pergi ke KUA dan mendapatkan dispensasi untuk menikah.

Perkawinan anak sering dianggap lumrah karena masalah ekonomi, kehamilan yang tidak direncanakan, adat di suatu daerah, serta perkawinan paksa korban dan pelaku pemerkosaan. Akibatnya, terjadi masalah kesehatan reproduksi, putus sekolah, waktu bermain hilang, penelantaran, rentan terjadi KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), perdagangan anak, dan masalah ekonomi.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan orang muda mengenai pencegahan perkawinan anak, mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Diponegoro melakukan edukasi pencegahan perkawinan anak kepada orang muda berusia 15-20 tahun yang bertempat di SMA N 1 Manyaran.

Dok. pribadi


Para peserta antusias bercerita singkat mengenai kasus perkawinan anak di daerahnya, aktif menjawab pertanyaan, dan mengeluarkan opini mereka secara terbuka. "Ini ruang aman untuk kalian bercerita dan berpendapat", ucap Lena, mahasiswa Antropologi Sosial kepada para peserta. Dari edukasi mengenai pencegahan perkawinan anak, para peserta mengetahui risiko, akibat, penyebab, dan cara mencegah perkawinan anak.

Beberapa upaya untuk mencegah perkawinan anak yaitu dengan menolak dispensasi perkawinan anak, memberikan pengetahuan mengenai risiko perkawinan anak dalam kurikulum pendidikan nasional, dan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif.

Pencegahan perkawinan anak membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Biarkan anak-anak bermain dan menuntut ilmu, jangan kurangi hak mereka dengan perkawinan anak, apalagi secara paksa!

Penulis : Lena Sutanti
DPL : Megarini Hersaputri, ST, MT,
Dr. Sunarno, S.Si, M.Si,
Suwandi., SAP., M.Si




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline